Powered By Blogger

September 3, 2013

SESAT PIKIR


SESAT PIKIR


A.    Pengertian Sesat Pikir

Sumaryono (1999:9) memberikan pengertian sesat pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.
Surajiyo (2009:105) mengatakan kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja, bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi dari bentuk penarikan  kesimpulan yang sesat karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya.
Sesat pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Contoh:
Kucing berkumis.
Ali berkumis.
Jadi, Ali Kucing.
Silogisme di atas, merupakan sesat pikir dalam menyimpulkan, karena Ali dkatakan kucing. Konklusi ini menyesatkan dan bisa marah yang bersangkutan kepada yang mengatakannya. Ali yang bersangkutan dikatakan kucing yang bukan kucing melainkan orang atau manusia yang memiliki martabat, bisa emosi dan memukul kepada yang menyampaikannya karena merasa diturunkan martabatnya
            Bentuk sesat pikir berdasar pembagian, yaitu: musim menurut kegiatannya dapat dibagi menjadi: musim tanam, musim kemarau, musim menyiangi, musim hujan, dan musim panen. Dalam pembagian ini ada yang sesat pikir, yaitu musim kemarau dan musim hujan karena kedua musim itu bukan kegiatan.
Sesat pikir dalam bentuk lain, misalnya Natsir mengatakan Bambang sangat mencintai istrinya, lalu disambung oleh Dahri dengan kata “dan saya juga”. Ucapan Dahri mengatakan “dan saya juga” merupakan sesat pikir, yaitu dapat diartikan bahwa Dahri juga mencintai istrinya Said. Pada hal yang ia maksudkan adalah Dahri juga mencintai istrinya sendiri.
Dari pengertian dengan tiga contoh sesat pikir yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sesat pikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang tidak ketemu, atau salah arah pada sasaran yang dimaksudkan. Walaupun proses berpikir semacam ini menyesatkan, tetap juga hal ini sering dilakukan. Atas dasar inilah maka dipandang perlu untuk mengetahui lebih lanjut, sumber, jenis-jenis dan latar belakang terjadinya proses sesat pikir tersebut.


B.     Fenomena Sesat Pikir

Sumaryono (1999:9) term “kepalsuan” dapat dipergunakan dalam berbagai kemungkinan. Yang paling lazim, term tersebut dipergunakan untuk menggambarkan gagasan yang keliru atau keyakinan yang salah. Dalam logika, term tersebut dipergunakan dalam arti yang lebih sempit, yaitu palsu berarti keliru dalam menalar atau dalam berargumen.
Motivasi pokok seseorang menyusun sebuah argumen adalah untuk membuktikan bahwa kesimpulan yang ia peroleh dalam menalar adalah benar. Sebuah argumen ada kemungkinan gagal dalam memanuhi tujuan tersebut. Ada dua kemungkinan kegagalan argumen.
1.      Kegagalan dapat terjaddi karena suatu argumen memuat premis yang terbentuk dari proposisi yang keliru. Jika sebuah argumen memuat satu premis yang keliru, maka argumen tersebut akan gagal dalam menempatkan kebenaran konklusinya
Contoh:
      Premis 1 : ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer
      Premis 2 : Tentara bayaran tidak memperhatikan fungsi sipil
      Konklusi : Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama dengan tentara bayaran

2.      Kegagalan dapat terjadi karfena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak berhubungan deengan konklusi yang akan dicari. Di sini logika berperanan penting. Sebuah argumentasi yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “sesat” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar. Di dalam jenis kegagalan yang kedua inilah terdapat apa yang disebut sesat pikir.
Contoh:
      Premis 1  : Sifat Tuhan adalah kekal abadi
      Premis 2  : Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal abadi
      Konklusi : Tuhan dan Pancasila adalah identik

Selanjutnya dalam sumber yang sama, Sumaryono mengemukakan ada banyak jenis kekeliruan yang dilakukan orang dalam melaksanakan penalaran atau dalam berargumen. Setiap kekeliruan dalam menalar itu merupakan argumen yang salah.

C.    Sumber-Sumber Kesesatan


Surajiyo (2009:107) mengemukakan sumber kesesatan dapat terjadi di dalam  logika deduktif, dan logika induktif. Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang didalam logika disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata  yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logikan induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan yang tidak lengkapatau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta. Kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah post hoc propler hoc, anteseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikan-nya suatu kecenderungan homogen, masihj pula terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesesatan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru.


D.    Berbagai Jenis Sesat pikir

Rapart (1996:92) mengemukakan pada umumnya sesat pikir di bagi ke dalam tiga jenis, yaitu sesat pikir karena semantik (bahasa), sesat pikir formal, dan sesat pikir material. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1.      Sesat Pikir Karena Bahasa

Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan semantik (bahasa), sebagai berikut:

a.       Menggunakan term ekuivokal

Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).

b.      Menggunakan term metaforis

Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan dalam arti yang sebenarnya. Misalnya: Pemuda adalah tulang punggung  negara. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut sesat pikir metaforisasi  (fallacy of metaphorization)

c.       Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata

Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda . Misalnya: apel: jika tekanan tgerletak pada huruf “a” artinya ialah pohon/buah  apel, tetapi jika tekanan terletak pada suku kata “pel”, artinya ialah apel  bendera, dan sebagainya. Sesat pikir yang terjadi karena aksen disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent)

d.      Menggunakan kontruksi kalimat bermakna ganda

Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphyboly). Amfiboli  terjadi apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh: Ali mencintai kekasihnya dan demikian pula  saya! Kalimat itu bisa berarti :Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih ali. Atau bisa juga berarti: Ali mencintai kekasihnya dan saya mencintai kekasih saya


2.      Sesat Pikir Formal

Sesat pikir formal terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bentuk (form) penalaran yang sahih. Jenis-jenis sesat pikir formal adalah sebagai berikut.

a.       Sesat pikir empat term (fallacy of for terms)

Bentuk silogisme yang sahih ialah silogisme yang hanya memiliki tiga term yang masing-masing disebut dua kali. Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat term, benntuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar ketentuan pertama mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)


b.      Sesat pikir proses tak sah (fallacy of illicit process)

Sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term konklusi berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan keempat mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)


c.       Sesat pikir term tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed)

Sesat pikir yang terjadi karena term tengah tiedak berdistribusi, padahal untuk memeperoleh konklusi yang benar term tengah sekurang-kurang satu kali berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan ketiga mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)


d.      Sesat pikir dua premis negatif (fallacy of two negative premises)

Sesat pikir ini terjadi karena menarik konklusi dari dua buah premis negatif pada hal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar. Hal itu melanggar ketentuan kedua dari ketentuan-ketentuan menganai premis-premis (lihat ketentuan premis)


3.      Sesat Pikir Material

Sesat pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk penalaran yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi penalaran itu sendiri. Surajiyo (2009:111) menyebutnya sebagai kesesatan relevansi. Sesat pikir macam ini sering kali disengaja guna membangkitkan emosi atau mengalihkan perhatian seseorang ataupun sekelompok orang dari masalah yang dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk memperdayakan lawan bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tetapi faktanya justru sangat kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Jadi, kesesatan relevansi timbul kalau  orang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya, artinya secara logis kesimpulan tidak terkandung atau tidak merupakan implikasi dari premisnya.  Jenis-jenis sesat pikir material adalah sebagai berikut:

a.       Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem)

Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara

b.      Argumen untuk mempermalukan (Argumentum ad verecundiam)

Sesat pikir ini terjadi karena agumentasi yang diberikan memang sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan bicara. Contoh: “Jika Anda benar-benar seorang pembeela kebenaran, Aanda pasti akan membenarkan saya karena apa yang saya katakan selalu benar!” Hal itu sering pula dilakukan oleh pemasang iklan Misalnya: “Orang yang benar-benar bijaksana adalah orang yang selalu menggunakan prodduk kami!”

c.       Argumen berdasarkan kewibawaan (Argumentum auctoritatis)

Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang beliau, seorang tokoh yang sangat dihormati dan seorang doktor yang jenius!”  Jelas terlihat bahwa argumen yang dikemukakan oleh orang tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, tetapi didasarkan pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir seperti itu yang bperlu dihindari.

d.      Argumen ancaman (Argumentum ad baculum)

Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.

e.       Argumen belas kasihan (Argumentum ad misericordiam)

Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas kasihan si lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan

f.       Argumen demi rakyat (Argumentum ad populum)

Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi suatu usul atau program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh dukungan aatau membenarkan tindakan si pembicara.

g.      Argumen ketidaktahuan (Argumentum ad ignorantiam)

Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahu apa pun juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir. Belum tentu bahwa apa yang tidak diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat pikir yang demikian disebut argumentum ad ignorantiam



E.     Strategi  Menghindari Sesat Pikir

Istilah strategi adalah suatu akal pikiran untuk mencapai sesuatu yang dimaksud. Strategi di sini, diartikan sebagai suatu akal pikiran untuk menghindari penalaran yang tidak logis atau salah arah, menjadi penalaran untuk mencapai sesuatu yang dimaksud.
Salah satu strategi menghindari sesat pikir, yaitu dengan menghindari sumber penyebabnya. Sumaryono (1999:21) dan Surajiyo (2009:115) mendeskripsikan sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan, maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar kita jeli dan cermat terhadap kesalahan-kesalahan dalam menalar, juga agar kita mampu mengidentifikasi dan menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran palsu
Oleh Karena itu, untuk menghindari kesesatan penalaran dengan berhati-hati terhadap sumber-sumber sesat pikir misalnya dengan menghindari kesalahan semantik atau bahasa, senantiasa melakukan penyimpulan sesuai ketentuan silogisme yang benar, dan bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, peneliti terhadap peranan bahasa dan penggunaannya merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman penggunaan bahasa dapat dimanfaatkan untuk memperoleh konklusi yang benar dari sebuah argumen.
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat “halus”. Banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.

S I LOG I S M E


S I LOG I S M E


A.    Konsep Dasar Silogisme

1.      Pengertian Silogisme

Silogisme dapat didefinisikan sebagai proses menggabungkan tiga proposisi, dua sebagai premis menjadi dasar penyimpulan disebut premis I dan premis II, satu menjadi simpulan yang ditarik (konklusi).
Jadi, dalam silogisme selalu ada tiga proposisi, yakni premis mayor, premis minor, dan akhirnya konklusi. Premis adalah proposisi-proposisi yang digunakan untuk penarikan konklusi. Konklusi ialah proposisi yang menyatakan hasil inferensi yang dilakukan berdasarkan proposisi-proposisi yang menjadi premis-premsi suatu inferensi. Proposisi-proposisi yang menjadi premis-premis dalam suatu silogisme disebut antesedens, sedangkan proposisi yang menjadi konklusi disebut konsekuensi. Predikat konklusi disebut term mayor [P], dan subjek konklusi disebut term minor [S]. Disebut demikian karena ekstensi predikat konklusi senantiasa lebih luas dari subjeknya. Premis yang mengandung term mayor disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung term minor disebut premis minor. Term yang tidak terdapat  pada proposisi konklusi tetapi ada di kedua premis sebagai pembanding disebut term pembanding, atau term antara/term tengah (terminus medius) [M]
Contoh:  Semua binatang makan. Sapi adalah binatang. Jadi, sapi makan.
Dalam contoh tersebut:
-          Term minor [S]: sapi
-          Term mayor [P]: makan
-          Term pembanding [M]: binatang
-          Premis mayor: semua binatang makan
-          Premis minor: sapi itu binatang
-          Simpulan atau konklusi: sapi makan

2.      Berbagai Jenis Silogisme

Mappeati Nyorong, (1978:52) membedakan silogisme dalam dua jenis, yaitu: silogisme murni dan silogisme campuran berdasarkan unsur-unsur proposisinya. Jika proposisi-proposisinya sama hubungannya, silogisme itu dinamai silogisme murni, dan jika proposisi-proposisinya berbeda hubungannya dinamai silogisme campuran. Selanjutnya dikemukakan bahwa kedua silogisme ini dapat diklasifikasi lagi, yaitu: Silogisme murni dapat dibagi atas: silogisme murni kategori, silogisme murni hipotetis, dan slogisme murni disjungtif berdasarkan proposisi-proposisi pembentunknya. Sedangkan silogisme campuran dibagi pula atas tiga jenis, yaitu: Silogisme hipotetis kategoris, Disjungtif kategoris, dan Dilemma.
Sumaryono (1999:90) juga membedakan silogisme dalam dua kategori, yaitu: silogisme kategoris dan silogisme hipotetis.
1. Silogisme kategoris ialah silogisme
Rapar (1996:66) membagi silogisme ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
a.       Silogisme sempurna - silogisme yang terdiri atas tiga proposisi, yaitu dua premis dan satu simpulan (conclution)
b.      Silogisme kategoris - silogisme yang proposisi pertamanya merupakan proposisi kategoris
c.       Silogisme  hipotetis - silogisme yang proposisi pertamanya merupakan proposisi hipotetis,
d.      Silogisme tidak sempurna adalah silogisme yang proposisinya kurang atau lebih dari tiga
Klasifikasi secara visualisasi seperti gambar 4.1

 











Gambar 4,1 Klasifikasi Silogisme (Rapar, 1996:66)

Untuk lebih mendalami setiap jenis silogisme tersebut diuraikan pada subbab-subbab berikutnya

3.      Prinsip-prinsip Silogisme

Rapar (1996:47) mengemukakan ada dua prinsip silogisme (canons of syllogisme), yaitu prinsip kesesuaian, dan prinsip ketidaksesuaian
a.       Prinsip Kesesuaian (principium convenientiae). Prinsip kesesuaian menegaskan bahwa apabila dua buah term yang ternyata sama dan sesuai dengan term ketiga, kedua term itu sama. Contoh: o = q; p = q; maka o = p
b.      Prinsip Ketidaksesuaian (principium discrepantiae). Prinsip ini menegaskan bahwa apabila ada dua buah term dan term yang satu sama dengan term yang ketiga, kedua term itu tidak tidak sama atau tidak sesuai satu dengan yang lainnya. Contoh: o = q; p ≠ q; maka o ≠ q
Kedua prinsip tersebut harus dikaitkan pula dengan diktum Aristoteles yang terkenal: Diktum de omni et nullo (diktum tentang semua dan tidak satu pun). Diktum itu berkaitan dengan term berdistribusi dan term yang tidak berdistribusi.
a.       Dictum de omni menyatakan bahwa apa yang berlaku bagi sebuah term berdistribusi, berlaku pula bagi semua yang tercakup dalam ekstensi dari term tersebut
Contoh:
Semua sarjana adalah lulusan perguruan tinggi
Toar adalah sarjana
Toar adalah lulusan perguruan tinggi

Dari contoh tersebut di atas terlihat bahwa lulusan perguruan tinggi itu berlaku bagi semua sarjana. Karena Toar tercakup dalam ekstensi term sarjana, term lulusan perguruan tinggi itu berlaku pula bagi Toar.

 
 






b.      Dectum de nullo menyatakan bahwa apabila sebuah term berdistribusi dinegasi, tidak satu pun dari yang tercakup dalam ekstensi term tersebut yang tidak dinegasi.
Contoh:
                     Manusai adalah buka kera
                     Toar adalah manusia
                     Toar adalah buka kera
Dari contoh tersebut di atas terlihat bahwa term kera menegasi term manusia.
Karena Toar tercakup dalam ekstensi term manusia, term kera itu pun menegasi Toar

 
 


                       



B.     Silogisme Kategoris

  1. Pengertian Silogisme Kategoris

Sebagaimana sudah disebutkan terdahulu pengertian Silogisme adalah proses menggabungkan tiga proposisi, dua sebagai premis menjadi dasar penyimpulan disebut premis I dan premis II, satu menjadi simpulan yang ditarik (konklusi). Silogisme kategoris berarti argumen yang terdiri atas tiga proposisi kategoris yang saling berkaitan, dua menjadi dasar penyimpulan disebut premis I (mayor) dan premis II (minor), satu menjadi konklusi. Silogisme kategoris berarti konklusi deduktif yang menggunakan mediasi, terdiri atas tiga proposisi kategoris yang saling berkaitan. Dua proposisi pertama sebagai premis menjadi dasar konklusi. Sedangkan yang ketiga menjadi konklusi. Sebagai contoh yang sederhana:
Premis I (mayor): Semua mahasiswa bercita-cita tinggi
Premis II (minor): Beberapa diantaranya kuliah dengan rajin
Konklusinya       : Jadi, beberapa yang rajin kuliah bercita-cita tinggi

  1. Unsur-unsur Silogisme kategoris

Pada uraian pengertian silogisme kategoris di atas, ada dua unsur-unsur penting yang terdapat dalam sebuah silogisme kategoris, yaitu:
a.       Tiga buah proposisi, yaitu premis mayor, premis minor, dan konklusi
b.   Tiga buah term, yaitu term subjektif (S), term predikat (P), dan term antara (M)


  1. Aksioma dan Kaidah  Silogisme Kategoris.

a.      Aksioma Logis dalam Silogisme Kategoris

Setiap silogisme kategoris pada dasarnya menyatakan kesesuaian atau ketidaksesuaian antara term minor [S] dan term mayor [P] atas dasar sesuai tidaknya kedua term tersebut dengan term antara [M]. Proses berpikir semacam ini memiliki empat aksioma logis, sebagai berikut:
1)      Prinsip Identitas Timbal Balik. Jika dua term cocok atau identik dengan term ketiga, maka kedua term tersebut identik satu sama lain.
Contoh:
      Semua mahasiswa [M] adalah warga masyarakat akademis [P]
Teman-teman saya [S] adalah mahasiswa [M]
Jadi, teman-teman saya [S] adalah warga masyarakat akademis [P]

2)      Prinsip Berbeda secara Timba Balik. Jika di antara  dua term hanya satu yang cocok dengan term ketiga, sementara yang lain tidak cocok, maka kedua term pertama tersebut tidak coco satu sama lain
Contoh:
            Mahasiswa [P] adalah kaum intelektual [M]
            Pedagang sayur [S] bukan kaum intelektual [M]
            Jadi, pedagang sayur [S] bukan mahasiswa [P]

3)      Prinsip Dictum de Omni. Apa yang diakui tentang suatu kelas logis tertentu diakui pula tentang bagian-bagian logisnya. Dengan kata lain, apa yang diakui tentang suatu term tertentu diakui pula tentang term-term lain yang menjadi bawahannya.
Contoh:
                  Setiap manusia adalah makhluk mortal
                  Amad adalah manusi
                  Jadi, Ahmad adalah makhluk mortal.

4)      Prinsip Dictum de Nullo (Hukum Kemustahilan). Apa yang diingkari tentang suatu kelas logis tertentu dingkari juga tentang bagian-bagiannya (secara logis),. Dengan kata lain, apa yang secara universal diingkari teentang suatu term diingkari juga tentang masing-masing contoh objek penjabaran term tersebut.
Contoh:
            Bangsa Indonesia bukan bangsa Belanda
            Orang Bugis adalah bagian dari bangsa Indonesia
            Jadi, orang Bugis bukan bangsa Belanda


b.      Kaidah silogisme yang didasarkan pada term

Pada umumnya literatur menyatakan bahwa ada empat kaidah/hukum yang didasarkan pada term dalam penyusunan silogisme kategoris, sehingga dapat diperoleh suatu konklusi yang benar, yaitu:
1)      Sebuah silogisme yang benar tidak boleh mengandung kurang atau lebih dari 3 (tiga) term (minor, mayor, dan menengah)
Untuk memperoleh konklusi yang tepat, sebuah silogisme harus terdiri atas tiga term saja, yaitu term mayor, term minor, dan term antara  yang masing-masing disebut dua kali dalam silogisme tersebut. Ketiga term tersebut tidak boleh memiliki arti rangkap karena akan mengakibatkan kesesatan ekuivokasi. Jika term mayor yang memiliki arti rangkap, akan terjadi kesalahan ambiguis mayor; jika term minor yang memiliki arti rangkap, akanterjadi kesalahan ambiguis minor; dan jika term antara yang memiliki arti rangkap , akanterjadi kesalahan ambiguis antara. Tewrm-term yang memiliki arti rangkap, antara lain, apel (apel bendera atau buah apel), kambing hitam (kambing berwarna hitam atau orang yanag dipersalahkan tetapi sebenarnya tidak bersalah), gabus (ikan air tawar atau kayu yang lunak), dan sebagainya.

2)      Term antara (pembanding) harus berada dalam premis dan bukan dalam konklusi
Term antara  adalah pembanding antara term minor dan term mayor dalam premis-premis. Perbandingan itu dimaksudkan untuk menemukan sesuai tidaknya antara term subjek [S] dan term predikat [P]. Jadi, sudah semestinya bahwa term antara [M] terdapat pada kedua premis. Jika term ini muncul kembali di dalam kesimpulan, maka dapat diartikan bahwa dalam proses penalaran ini tidak terjadi proses konklusi
Contoh:
      Siapa orang dapat tertawa
      Setiap orang dapat menangis
      Jadi, setiap oran dapat tertawa sambil menangis
Jika proses penalarannya terjadi seperti contoh di atas, maka sebenarnya proses tersebut bukan ssilogisme sebab dalam penalaran tersebut tidak terdapat  kebenaran baru yang seharusnya muncul di dalam konklusi. Konklusi adalah titik akhir yang hendak dicapai/dinyatakan oleh premis-premisna.

3)      Term Subjek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari term dalam premis.
Apabila suatu term tertentu dalam premis tidak mempunyai luas universal, janganlah menurunkannya dalam kesimpulan dengan luas universal. Jadi, apabila suatu term tertentu dalam premis adalah partikular, tidak boleh menurunkannya dalam kesimpulan dengan luas universal.
Contoh:
      Semua burun mempunyai saya
      Beberapa binatang adalah burung
Jadi, semkua  binatang mempunyai sayap.
Dari contoh ini terlihat bahwa luas term subjek sebagai term minor (binatang)  dalam kesimpulan lebih besar daripada  luas term tersebut dalam premis minor. Kesimulan seharusnya berbunyi ‘Beberapa binatang mempunyai sayap.’

4)      Term antara (pembanding) harus sekurang-kurangnya satu kali muncul sebagai term/pengertian universal.
Referent (objek) dari term antara sekurang-kurangnya identik (atau tidak identik) dengan referent (objek) dari term minor atau dari term mayor. Jika term antara digunakan dua kali secara partikular di dalam premis-premisnya, ini berarti bahwa term minor  hanya sesuai dengan bagian tertentu dari term antara.Dalam hal ini, kita tidak tahu  pasti apakah term minor [S] dan term mayor [P] dapat sesuai dengan bagian term antara tersebut, sebab di dalam premis tidak dinyatakan secara eksplisit apakah bagian dari term antara yang cocok dengan term minor itu cocok juga dengan term mayor.
Contoh:
      Tikus mempunyai ekor
      Ikan mempunyai ekor
      Jadi, tikus sama dengan ikan
      Faktanya memang benar bahwa tikus dan ikan mempunyai cciri umum yaitu  memiliki ekor. Namun, ini tidak berarti bahwa keduanya lalu ideentik satu sama lain. Ada ciri lain yang justru membedakan keduanya. Kedua jenis binatang tersebut hanya identik dalam salah satu bagian tubuhnya saja, bukan secara keseluruhan mirip satu sama lain

c.       Kaidah silogisme yang didasarkan pada premis

Sumaryono (1999:97) mengemukakan ada empat kaidah atau aturan silogisme yang didasarkan pada premis, sehingga dapat diraih konklusi yang benar, yaitu:
1)      Apabika kedua premis positif maka kesimpulannya harus positif
2)      Kedua premis tidak boleh negatif, karena tidak bisa melahirkan suatu kesimpulan
3)      Kedua premis tidak boleh partikular, setidak-tidaknya salah satu harus universal
4)      Kesimpulan harus mengikuti premis yang paling lemah
Rapar (1997:50) menambahkan tiga sehingga menjadi tujuh kaidah/hukum yang didasarkan pada premis dalam penyusunan silogisme, yaitu:
1)      Sebuah silogisme hanya memiliki dua premis dan satu konklusi
Silogisme yang sempurna memiliki dua premis yang tgerdiri atas premis mayor dan premis minor. Dari premis mayor dan premis minor itulah konklusi dapat diambil. Semua itu telah dijelaskan dalam definisi mengenai silogisme

2)      Premis-premis dalam sebuah silogisme tidak boleh kedua-duanya
Premis negatif menunjukkan bahwa predikat proposisi menyangkal/menegasi subjeknya. Hal itu berarti bahwa tidak ada hubungan antara subjek dan predikat. Apabila kedua premis negatif, semua term dari kedua premis itu tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya karena tidak ada yang menghubungkan term-term tersebut. Jika demikian, dengan sendirinya tidak ada hubungan antara premis mayor dan premis minor sehingga tidak mungkin memperoleh konklusi dari dua premis yang tidak memiliki hubungan apa pun juga.
Contoh:
      Semua hakim bukan polisi
Semua polisi bukan jaksa
Jadi, ................................

3)      Apabila kedua premis afirmatif, konklusinya pun afirmatif
Dua buah premis afirmatif yang term-term dalam proposisinya dihubungkan oleh sebuah term (term M) yang sama dengan term-term tersebut akan mengakibatkan term-term tersebut pun sama. Karena term-term itu saling mengafirmasi, konklusinya  pun afirmasi
Contoh:
      Semua manusia adalah ciptaan Tuhan
Semua petani adalah manusia
Jadi, semua petani adalah ciptaan Tuhan

4)      Jika salah satu premis negatif, konklusi pun negatif
Apabila salah satu premis negatif, berarti bahwa ada term yang mengingkari/menegasi  term lainnya dalam premis. Akibatnya, konklusi pun negatif karena apa yang diingkari dalam premis akan didindgkari pula dalam konklusi..
Contoh:
      Semua manusia bukan kera
Adam adalah manusia
Adam buka kera



5)      Premis tidak boleh kedua-duanya partikular
Silogisme  adalah bentuk formal penalaran deduksi. Karena penalaran deduktif adalah dari umum (universal) ke khusus (partikular), konklusi tidak mungkin dapat diambil dari dua premis partikular.
Contoh:
      Bebarapa manusia adalah penipu
Beberapa manusia adalah pemberontak
Jadi, ...............................................

6)      Konklusi tidak dapat diambil dari premis mayor  partikular dan premis minor negatif. Apabila premis minor negatif, premis mayor haruslah afirmatif dan konklusinya pun negatif. Jika konklusi negatif, term mayor harus berdistribusi. Apabila premis mayor partikular, berarti tidak satu pun term dalam proposisi premis  mayor itu yang berdistribusi. Jadi, konklusi tidak dapat diambil dari premis mayor partikular dan premis minor negatif.
Contoh:
      Sebagian mahasiswa adalah wanita
Kartono bukan wanita
Jadi, ...................................................

7)      Apabila satu premis partikular, konklusi pun harus partikular.
Proses penalaran deduktif ialah dari universal ke partikular. Oleh karena itu, apabila dalam premis ada proposisi partikuar, konklusi pun harus partikular. Tidak mungkin konklusi universal apabila ada premis yang partikular
Contoh:
      Semua filsuf adalah manusia
      Plato adalah filsuf
      Jadi, Plato adalah manusia


  1. Pola  Silogisme Kategoris

Yang dimaksud dengan pola atau bentuk dan ada pula yang menyebutnya dengan figura silogisme adalah tatanan yang benar dari letak term pembanding [M] dalam hubungannya dengan term minor [S] dan term mayor [P] dalam premis. Surajiyo, dkk. (2009:67) membedakan ada empat kemungkinan pola atau bentuk silogisme kategoris, yakni sebagai berikut:
a.       Silogisme Sub-Pre. Suatu pola silogisme yang term pembandingnya dalam premis pertama sebagai subjek dan dalam premis kedua sebagai predikat 
Polanya:  M = P,   S = M,    Jadi,  S =  P
Contoh:
      Semua “manusia” akan mati   [M = P]
      Socrates adalah “manusia”     [S = M]
      Jadi, Socrates akan mati           [S = P]

b.      Silogisme Bis-Pre. Suatu pola silogisme yang term pembandingnya menjadi predikat dalam kedua premis.
Polanya: P = M   S = M     Jadi, S = P
Contoh:
Semua orang yang berjasa terhadap negara  adalah “pahlawan”    [P = M]
Soekarno adalah “pahlawan”                                                            [S = M]
Jadi, Soekarno adalah orang yang berjasa  terhadap negara            [S = P]

c.       Silogise Bis-Sub. Suatu pola silogisme yang term pembandingnya menjadi subjek dalam kedua premis.
Polanya:   M = P    M = S   Jadi, S = P
Contoh:
      Manusia” adalah berbudaya                                 [M = P]                                
      “Manusia” itu juga berakal budi                             [M = S]
      Jadi, semua yang berakal budi adalah berbudaya  [S = P]

d.      Silogisme Pre-Sub. Suatu pola silogisme yang term pembandingnya  dalam premis pertama sebagai predika dan dalam premisw kedua sebagai subjek
Polanya: P = M       M = S     Jadi, S = P
Contoh:
      Semua influenza adalah “penyakit”                                          [P = M]
      Semua “penyakit” adalah mengganggu kesehatan                   [M = S]
      Jadi, sebagian yang mengganggu kesehatan adalah influenza  [S = P]


  1. Metode Praktis Penyimpulan Silogisme Kategoris

Surajiyo, dkk. (2009:73) mengemukakan ada lima jenis proposisi kategoris yang diolah secara silogisme, yaitu sebagai berikut:
a.       Proposisi Universal Afirmatif Equivalen
Misal: semua siku-siku sudutnya 90 derajat
Diagram simbol dan diagrfam humpunanya adalah:
 

                                         S                     P



                                                  (S = P)


b.      Proposisi Universal Afirmatif Implikasi
Contoh: Semua bangsa Indonesia tidak berhaluan komunis
 Diagram simbol dan diagram himpunannya adalah:
 

                                                     


                                                     (S         P)
  

c.  Proposisi Universal Negatif
Contoh: Semua bangsa Indonesia tidak berhaluan komunis
Diagram simbol dan diagram himpunannya adalah


 

                                   S                                       P




                                                 (S  Ø   P)

d.   Proposisi Partikular Afirmatif Inklusif
Contoh: Sebagian politikus adalah sarjana hukum
Diagram simbol dan diagram himpunannya adalah

 






                                                (S       P)

c.       Proposisi Partikular Afirmasi Implikasi
Contoh: sebagian bangsa Indonesia ada Pulau Sulawesi
Diagram simbol dan diagram himpunannya adalah
 





                                                    (S        P)

Selanjutnya Surajiyo, dkk. (ibid) mengemukakan bahwa proposisi partikular negatif inklusif dan proposisi partikular negatif implikasi, jika dibuat dalam diagram himpunan, bentuknya sama dengan proposisi partikular afirmatif inklusif dan implikasi. Oleh karena itu, praktisnya ada lima proposisi yang diolah dalam silogisme.
Apabila silogisme bisa disimpulkan secara pasti atau tidak, dapat diterapkan 2 (dua) metode praktis, yaitu sebagai berikut:
a.       Suatu silogisme dapat disimpulkan secara pasti, apabila dilukiskan dalam diagram himpunan hanya ada satu bentuk. Kesimpulan dalam silogisme sebenarnya hanyalah menarik dari suatu proposisi yang sudah termuat dalam premis.
Misalnya:
Semua binatang akan mati,
Burung adalah binatang,
Jadi, burung akan mati.
Contoh tersebut kalau disimbolkan dalam diagram, maka
      A         B
C         A
A          B
            Simbol tersebut kalau dibuat dalam diagram himpunan, maka

 










b.      Suatu silogisme tidak dapat diambil simpulan secara pasti, apabila dilukiskan dalam diagram himpunan, ada beberapa bentuk.
Contoh:
Sebagian mahasiswa berasal dari orang Pare-pare
Sebagian orang Pare-Pare adalah jualan cakar
Jadi, .........
Contoh tersebut kalau dibuat dalam diagram simbol maka:
A        B
B        C
      ?
     
Kalau dibuat dalam diagram himpunan maka ada beberapa diagram, yaitu:

 


                           




C4
 
 

















C.    Silogisme Hipotetis


  1. Pengertian Silogisme Hipotetis

Silogisme hipotetis adalah silogisme yang premis mayornya adalah proposisi hipotetis. Silogisme hipotesis berbeda dengan silogisme kategorik, yaitu: Proposisi hipotesisnya tidak terdiri atas subjek dan predikat yang dihubungkan dengan kopula. Sebagai contoh:
Premis mayor  : Jika rusak, maka harus diperbaiki, - hipotetis
Premis minor    : Mesin ketik saya rusak,
Kesimpulannya: Jadi, mesin ketik saya harus diperbaiki


  1. Jenis-jenis Silogisme Hipotetis


Sudah dikemukakan terdahulu dalam Bab III, proposisi hipotesis dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu: proposisi kondisional (conditional proposition), proposisi disjungtif, (disjunctive proposition), dan  proposisi konjungtif (conjunctif proposition)
Proposisi kondisional – proposisi yang teridiri atas dua bagian yang digandengkan dengan menggunakan kata-kata:  “Apabila ... Maka ...” Boleh juga menggunakan kata-kata: “Jikalau/jika ... Maka ...” Misalnya: “Jika ia pergi, maka kita tidak dapat menemuinya”. Bagian proposisi yang diawali dengan kata “jika/jikalau”  atau “apabila” disebut anteseden, sedangkan bagian yang diawali dengan kata “maka” disebut konsekuen.
Proposisi disjungtif – proposisi yang subjek atau predikatnya terdiri atas  bagian-bagian  yang saling menyisihkan
Contohnya: “Saya berjalan lambat atau cepat”; “Anda atau saya yang benar”
Proposisi konjungtif – proposisi yang memiliki dua predikat yang biasanya dihubungkan oleh kata “dan” yang tidak mungkin benar dalam waktu yang bersamaan jia dikenakan kepada subjek yang sama
Contohnya: “Papan tulis itu tidak mungkin hitam dan sekaligus putih”
Rapar (1996:67) mengemukakan ketiga jenis proposisi hipotesis itulah yang membentuk ketiga jenis silogisme hipotesis berikut: silogisme hipotetis kondisional, silogisme hipotesis disjungtif, dan silogisme hipotesis konjungtif.

  1. Silogisme hipotetis kondisional

Silogisme kondisional ialah silogisme yang memiliki premis mayor berupa proposisi kondisional, sementara premis minor dan kesimpulannya berupa proposisi kategoris.
Contoh:
Jika ada uang, maka ada barang
Uang ini ada
 

Jadi, ada barang

Rapar (ibid), mengemukakan silogisme kondisional dapat dibedakan atas tiga jenis berikut ini
1)      Silogisme kondisional yang memiliki relasi kausal satu arah

2)      Silogisme kondisional yang memiliki relasi kausal timbal balik (dua arah)

3)      Silogisme kondisional yang memiliki relasi kausal probabilitas.

  1. Silogisme hipotetis disjungtif

Silogisme disjungtif ialah silogisme yang memiliki premis mayor dalam bentuk proposisi disjungtif, sedangkan premis minor dan kesimpulannya berupa proposisi kategoris.
Contoh:
Dekan FIS akan keluar Negeri atau ke Daerah     (premis mayor)
Ia ternyata ke Daerah                                            (premis minor)
 

            Jadi, Dekan FIS tidak keluar Negeri

  1. Silogisme hipotetis konjungtif

Silogisme konjungtif ialah silogisme yang memiliki premis mayor dalam bentuk proposisi konjungtif, sementara premis minor dan kesimpulannya berupa proposisi kategoris. Proposisi konjungtif adalah proposisi yang memiliki dua predikat yang bersifat kontraris, yakni tidak mungkin sama-sama memiliki kebenaran pada saat yang bersamaan.
Contoh:
Air tidak dapat dirasakan panas “dan” dingin pada saat yang bersamaan
Air ini panas
.
Jadi, air ini tidak dingin


D.    Silogisme Tidak Sempurna

Silogisme kategorik yang telah diuraikan merupakan silogisme sempurna atau disebut juga dengan silogisme beraturan atau silogisme lengkap yang terdiri atas dua proposisi yang berupa premis mayor dan premis minor, dan sebuah konklusi. Acap kali hanya konklusi yang disebut, atau hanya  premis mayor dan konklusi atau premis minor dan konklusi, atau hanya .premis mayor dan premis minor saja karena yang tidak diungkapkan dianggap telah diketahui oleh pembaca atau oleh pendengar. Silogisme yang digunakan dengan cara demikian disebut silogisme tidak sempurna.
Silogisme yang tidak sempurna antara lain: enthymema, epicheirema, polisilogisme, sorites, dilema, dan  paradoks. Semua ini akan dibicarakan satu persatu secarad jelas.

1.      Enthymema,

Istilah yang sama dengan enthymema adalah silogisme berantai, yaitu ssilogisme di mana premis minornya dihlangkan karena dianggap telah diketahui oleh semua orang sehingga tidak perlu disebut lagi. Sumaryono (1999:107) mengemukakan ada empat macam Enthymema
a.       premis mayor tidak disebutkan, namun dapat dimengerti
Contoh:
      Socrates adalah manusia, maka ia dapat mati
      Premis mayor yang tidak disebutkan adalah semua manusia dapat mati
b.      premis minor tidak disebutkan, namun dapat dimengerti
Contoh:
      Siapa saja yang menjadi kepala negara memiliki kekuasaan
       Jadi, ia memiliki kekuasaan
      Premis minor yang tidak disebutkan adalah Ia adalah seorang kepala negara
c.       Konklusi tidak disebutkan, namun pengertiannya dapat dimengerti
Contoh:
      Semua tindakan kejahatan akan dikenakan sanksi hukum
      Korupsi adalah tindak kejahatan
     Konklusi yang tidak disebutkan adalah Jadi, tindak korupsi akan dikenai sanksi hukum
d.      Hanya konklusi yang disebutkan, namun pengertiannya dapat dimengerti
      Contoh:
      Socrates tidak sempurna
     Premis mayor dan premis minir tidak disebutkan, yaitu:
      Tidak seorang pun  manusia yang sempurna (premis mayor)
      Socrates adalah manusia (premis minor)

2.      Epicheirema

Epicheirema adalah silogisme  (kategoris) di mana salahsatu atau kedua premisnya sudah dilengkapi dengan pembuktiannya, nyaitu berupa penjelasan yang biasanya menyatakan anak kalimat kausal yang dalam susunannya didahului dengan term-term karena, sebab, bilamana, jika, sejauh, dan sebagainya
Contoh:
Manusia dapat berpikir sebab ia memiliki akal budi
Mario Kempes adalah manusia
Jadi, Mario Kempes dapat berpikir

Untuk mengetahui validitas sebuah epicheirema, proses penalarannya harus dapat dikembalikan pada seluruh persyaratan dan aturan penyusunan silogisme.

3.      Polisilogisme

Polisilogisme adalah silogisme yang terdiri atas rangkaian silogisme yang disusun sebagai berikut: Konklusi silogisme pertama menjadi premis mayor dari silogisme berikut, dan demikian pula seterusnya. Bakry (2001:147) mengartikan polisilogisme sebagai suatu bentuk penyimpulan berupa perkaitan silogisme , sehingga kesimpulan silogisme sebelumnya menjadi premis pada silogisme berikutnya.
Bentuk penalaran polisilogisme pada dasarnya merupakan uraian terperinci bentuk sorites, yang tiap tahap diberi kesimpulan tersendiri, sehingga merupakan silogissme bertumpuk ataun silogisme berkaitan, yaitu silogismenya bertumpuk atau berkaitan bukan premisnya seperti sorites. Dari uraian tersebut dapat ddikemukakan perbedaan pokok antara polisilogisme dengan sorites, yaitu: Dalam penalaran bentuk polisilogisme yang berkaitan adalah silogismenya, sedang sorites yang berkaitan adalah premisnya.
Contoh:
            Semua manusia tidak sempurna
            Semua raja adalah manusia
            Semua raja tidak sempurna
            La Patiroi adalah seorang raja
            Jadi, La Patiroi tidak sempurna

4.      Sorites

Sorites adalah silogisme yang berantai yang susunannya berbeda dengan polisilogisme, yaitu sorites premisnya yang berkaitan. Rapart (1996:81) dan Bakry (2001) membagi dua jenis, yaitu sorites progresif dan sorites regresif.
a.       Sorites progresif berasal dari Aristoteles, maka sering disebut sorites Aristotelian, yaitu suatu perbincangan mengarah maju dari term yang tersempit sampai pada yang terluas, disusun sebagai berikut: Predikat proposisi pertama, menjadi subjek proposisi kedua, predikat proposisi kedua menjadi subjek pada proposisi ketiga dan demikian selanjutnya hingga pada akhirnya ditarik konklusi yang subjeknya adalah subjek proposisi pertama dan predikatnya adalah predikat proposisi terakhir.
Contoh:
Jiwa manusia adalah rasional
Apa yang rasional adalah spiritual (rohani)
Apa yang spiritual tidak akan mati
Jadi, jiwa manusia tidak akan mati

b.      Sorites regresif berasal dari Goclenius dan sering disebut sorites Goclenian, yaitu suatu perbincangan mengarah balik dari term yang terluas menuju yang tersempit, sedang konklusinya merupakan perpaduan antara subjek dari premis terakhir dengan predikat dari premis pertama.
Contoh:
            Setiap hal yang dikaruniai naluri mempunyai reaksi spontan,
            Setiap hewan dikaruniai naluri,
            Semua manusia adalah hewan,
            Saddam Husain adalah seorang manusia.
            Jadi, Saddam Husain mempunyai reaksi spontan

5.      Dilema

Dilema adalah suatu silogisme yang terdiri atas dua pilihan yang serba salah. Jika ada tiga pilihan serba salah disebut trilema, dan jika ada empat pilihan serba salah disebut quadrilema, selanjutnya jika terdapat banyak pilihan serba salah disebut polilema.
Sumaryono (1999:108 mengartikan dilema adalah sebuah bentuk yang memiliki premis yang terdiri dari proposisi disjungtif, dan premis minornya menunjukkan bahwa setiap bagian pilihan disjungtif manapun akan selalu tidak benar. argimentasi Dalam sebuah dilema kedua pilihan yang disodorkan sama buruknya sehingga sulit untuk mengambil putusan karena yang mana pun yang dipilih, akan tetap salah.
Surajiyo (2009:99) membedakan dilema dalam dua macam yaitu: dilema konstruktif dan dilema destruktif. Rapar (1996:83) membedakan dalam empat jenis dilema, di mana dilema konstruktif dan dilema destruktif masing-masing dibedakan dalam dua jenis, yaitu: konstruktif sederhana dan konstruksi pelik, destruktif sederahana dan destruktif pelik.
a.       Dilema Konstruktif Sederhana (Simple Constructive Dilemma)
Contoh:
      Jika mahasiswa absen ketika harus belajar di kelas, itu berarti bahwa ia lalai, dan jika ia masuk kelas tetapi tertidur, itu pun berarti bahwa ia lalai. Mahasiswa itu  absen atau tertidur
      Konklusinya: Mahasiswa itu lalai (yang mana pun yang dipilih konklusinya tetap sama)

b.      Dilema Konstruktif Pelik (Complex Constructive Dilemma)
Contoh:
      Jika belajar bahasa Inggris di perguruan tinggi, akan memakan waktu yang terlampau lama, dan jika belajar di kursus-kursus bahasa, mutunya kurang baik.
      Belajar bahasa Inggris hanya mungkin diperguruan tinggi atau di kursus-kursus bahasa
      Konklusinya: Belajar bahasa Inggris yang memakan waktu yang terlampau lama atau yang mutunya kurang baik

c.       Dilema Destruktif Sederhana (Simple Destructive Dilemma)
Contoh:
      Jika ia benar-benar pintar, ia akan berhasil meraih peringkat pertama, dan Jika ia benar-benar pintar, ia akan memperoleh hadiah kejuaraan yang dijanjikan
      Ia tidak berhasil meraih peringkat pertama, atau ia tidak memperoleh hadiah kejuaraan yang dijanjikan
      Konklusinya: Ia tidak pintar

d.      Dilema Destruktif Pelik (Complex destruktive Dilemma)
Contoh:
      Jika ia pergi ke Bandung dengan menumpang pesawat terbang, ia akan tiba dua jam sebelum acara, dan jika ia menumpang bis umum, ia akan terlambat satu jam
      Ia tidak tiba ddua jam sebelum acara , atau ia tidak terlambat satu jam.
      Konklusinya: Jadi, ia tidak pergi dengan menumpang pesawt terbang atau bis umum


6.      Paradoks

Rapar (1996:85) mengemukakan paradoks adalah suatu situasi yang timbul dari sejumlah premis yang diakui kebenarannya yang bertolak dari suatu pernyataan dan akan tiba pada konklusi yang mengandung konflik atau kontradiksi. Paradoks disebut juga antinomi karena melanggar principium contradictionis  (law of contradiction) atau hukum kontradiksi yang menyatakan bahwa tidak mungkin sesuatu itu pada waktu yang sama adalah sesuatu itu dan bukan sesuatu itu.. Yang dimaksudkan ialah mustahil ada hal yang bertentangan pada sesuatu pada waktu yang bersamaan.
Paradoks yang tertua dan sangatg terkenal ialah paradoks pembohong  (liar paradox), sebagai berikut: Epimenides si orang Kreta mengatakan  bahwa semua orang Kreta adalah pembohong. Apakah pernyataan itu benar?
Ikutilah rangkaian premis berikut yang akan tiba pada dua konklusi yang bertentanga:
Jika yang dikatakan Epiminides benar, ia bukan pembohong.
Jika Epimenides bukan pembohong, apa yang diakatakannya tidak benar
Jika apa yang dikatakannya tidak benar, ia pembohong
Jadi, ia adalah pembohong dan bukan orang bjujur (konklusi pertama);

Jika yang dikatakan Epimenides tidak benar, ia adalah pembohong
Jika ia pembohong, apa yang dikatakannya tidak benar
Jika apa yang dikatakannya tidak beenar, itu berarti bahwa ia adalah orang jujur
Jadi, ia adalah orang jujur dan bukan pembohong (konklusi kedua)

Apa yang dikatakan Epimenides sesungguhnya secara serentak mengandung kebohongan dan kebenaran. Jika kebohongan, ia benar-benar pembohong, dan juga kebenaran, ia adalah seorang yang jujur.
Sama seperti dilema, paradoks bisa digunakan dalam perdebatan untuk mematahkan argumentasi lawan dengan menempatkannya ke dalam situasi yang sulit dan serba salah.