A.
Arti Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge)
berasal dari kata tahu. Pengetahuan berarti apa yang diketahui atau hasil pekerjaan
tahu. Dalam Encyclopedia of Philosophy dideskripsikan bahwa definisi
pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified tru blief).
Dalam mengetahui yaitu paham suatu subjek terhadap objek yang dihadapinya.
Subjek di sini tentunya manusia yang memiliki akal, perasaan, hatinurani,
intuisi, dan pancaindera. Gazalba, (Bakhtiar, 2004:85) mengartikan pengetahuan
adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut
adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai. Pengetahuan itu
adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil
proses dari usaha manusia untuk tahu, atau segenap apa yang diketahui
tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, seni, dan agama
merupakan suatu pengetahuan.
Pengetahuan dapat diperoleh dengan dua cara: 1)
non ilmiah dan 2) ilmiah. Pengetahuan non ilmiah disebut juga dengan
pengetahuan prailmiah, yaitu segenap hasil pemahaman manusia terhadap sesuatu
objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari sebagai produk dari
panca indera, termasuk pemahaman yang diperoleh secara gaib dan secara intuisi.
Pengetahuan ilmiah ialah segenap hasil pemahaman
manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah
cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Ilmu tentang
metode disebut dengan metodologi, yaitu suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Metode-metode ilmiah ini secara garis besar
ada dua macam, yaitu:
1) metode ilmiah yang bersifat umum, dan 2) metode
penyelidikan ilmiah
Metode ilmiah yang bersifat umum masih dapat
dibagi dua, yaitu:
a) metode analitiko-sintesa, (gabungan dari
metode analisis dan metode sintesa)
b) metode non-deduksi. (gabungan dari metode
deduksi dan metode induksi)
Metode penyelidikan ilmiah, juga dapat dibagi dua, yaitu:
a) metode penyelidikan yang berbentuk
daur/metode siklus empirik, dan
b) metode penyelidikan ilmiah yang berbentuk
garis tegak lurus/metode vertikal atau yang berbentuk garis lempang/metode
linier.
Apabila menggunakan metode analisis, maka dalam
babak terakhir akan diperoleh pengetahuan analitik. Pengetahuan analitik itu
ada dua macam, yaitu: 1) pengetahuan analitik a priori dan 2)
pengetahuan analitik a posteriori
Istilah “a priori” adalah sifat bahan berupa hal-hal/pengertian-pengertin
yang diperoleh dari pikiran belaka, tidak dilandasi dengan pengelaman inderawi.
Jadi, Pengetahuan analitik a priori
adalah pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan dengan pengalaman, disebut pengetahuan
mutlak atau pengetahuan nonempiris. Sepertinya: kucing “hitam”. Hitam adalah
secara mutlak menurut definisinya
Sedangkan istilah
“a posteriori” versus a
priori yaitu sifat bahan berupa hal-hal/pengertian-pengertian
yang diperoleh dengan pengalaman inderawi sebelumnya. Jadi, pengetahuan
analitik a posteriori adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman,
dan disebut dengan pengetahuan empirik. Sepertinya: kursi adalah perabot
kantor/rumah tangga yang khusus disediakan untuk tempat duduk. Memberikan pengertian kursi setelah ada
pengalaman/pengamatan.
B.
Teori Pengetahuan
Bakhtiar (2004:94) mengemukakan ada dua teori
untuk mengetahui hakikat pengetahuan itu, yaitu realisme dan idealisme.
1. Realisme
Teori ini mempunyai pandangan realistis terhadap
alam. Pengetahuan menurut realisme
adalah gambaran atau kopi yang
sebenarnya dari apa yang ada dalam alam
nyata (dari fakta atau hakikat). Pengetahuan atau gambaran yang ada dalam
akal adalah kopi dari yang asli yang ada
di luar akal. Hal ini tidak ubahnya seperti gambaran yang terdapat dalam foto.
Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat
bila sesuai dengan kenyataan
Ajaran realisme percaya bahwa dengan sesuatu atau
lain cara, ada hal-hal yang hanya terdapat di dalam dan tentang dirinya
sendiri, serta yang hakikatnya tidak terpengaruh oleh seseorang. Contohnya, fakta
menunjukkan, suatu meja tetap sebagaimana adanya, kendati tidak ada orang di
dalam ruangan itu yang menangkapnya. Jadi meja itu tidak tergantung kepada
gagasan kita mengenalnya, tetapi tergantung pada meja tersebut
Para penganut realisme mengakui bahwa seseorang
bisa salah lihat pada benda-benda atau dia melihat terpengaruh oleh keadaan
sekelilingnya. Namun, mereka paham ada benda yang dianggap mempunyai wujud
tersendiri, ada benda yang tetap kendati diamati. Menurut Rasyidi (1994:17),
penganut agama perlu sekali mempelajari realisme dengan alasan:
a. Dengan menjelaskan kesulitan-kesulitan
yang terdapat dalam pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat dalam
pikiran. Kesulitan pikiran tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa
tiap-tiap kejadian dapat diketahui hanya dari segi subjektif. Menurut Rasyidi,
pernyataan itu tidak benar sebab adanya faktor subjektif bukan berarti menolak
faktor objektif. Kalau seseorang melihat sebatang pohon, tentu pohon itu memang
yang dilihat oleh subjektif. Namun, hal ini tidak berarti meniadakan pohon yang
mempunyai wujud tersendiri. Begitu juga ketika orang berdoa kepada Tuhan, bukan
berarti Tuhan itu hanya terdapat dalam pikiran, tetapi Tuhan mempunyai wujud
tersendiri.
b. Dengan jalan memberi pertimbangan-pertimbangan
yang positif, menurut Rasyidi, umumnya orang beranggapan bahwa tiap-tia benda mempunyai
satu sebab. Contohnya: apa yang menyebabkan Ahmad sakit. Biasanya kita puas
ketika kita dijawab karena kuman. Sebenarnya, sebab sakit itu banyak karena ada
orang yang bersarang kuman dalam tubuhnya, tetapi dia tidak sakit. Dengan demikian,
penyakit si Ahmad itu mungkin disebabkan keadaan badannya, iklim, dan
sebagainya. Prinsip semacam ini menurut
Rasyidi bisa digunakan untuk mempelajari agama karena adanya perasaan yang
subjektif tidak berarti tidak adanya keadaan yang objektif.
2. Idealisme
Teori idealisme menegaskan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan adalah
proses-proses mental atau proses psikologi yang bersifat subjektif. Oleh karena
itu pengetahuan bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan
bukan gambaran objektif tentang realitas. Subjektif dipandang sebagai suatu yang mengetahui, yaitu dari
orang yang membuat gambaran tersebut. Karena itu, pengetahuan menurut teori ini
tidak menggambarkan hakikat kebenaran yang diberikan pengetahuan hanyalah
gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengetahui (subjek)
Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang
mengetahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme,
dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai
hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Dunia merupakan suatu
kebulatan bukan kesatuan mekanik, tetapi kebulatan organik yang sesungguhnya
yang sedemikian rupa, sehingga suatu bagian darinya dipandang sebagai kebulatan
logis, dengan maknan inti yang terdalam.
Premis pokok yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai
kedudukan utama dalam alam semesta. Idealisme tidak mengingkari adanya materi.
Nmun materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,
seseorang yang akan memikirkan ruh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui
apakah sesungguhnya materimitu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah
nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu
Sebenarnya, realisme dan idealisme memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu. Realisme ekstrim bida sampai pada monisme
materialistik atau dualisme. Seorang pengikut materialisme mengatakan jika
demikian halnya, sudah barang tentu dapat juga dikatakan bahwa jiwa adalah
materi dan materi adalah jiwa, bahkan jiq2wa dan materi sepenuhnya sama. Lebih
lanjut, realisme tidak mementingkan subjek sebagai penilai. Padahal, subjek yang
menilai memiliki peran penting dalam menghubungkan antar objek dengan ungkapan
tentang objek tersebut.
Idealisme subjektif juga akan menimbulkan
kebenaran yang relatiuf karena setiap individu berhak untuk menolak kebenaran
yang datang dari luar dirinya. Akibatnya, kebanran yang bersifat universal
tidak diakui. Kalau demikian jadinya, aturan-aturan agama dan kemasyarakata
hanya bisa benar untuk kelompok tertentu dan tidak berlaku bagi kelompok lain.
Lagi pula, idealisme terlalu mengutamakan subjek sebagai si penilai dengan
merendahkan objek yang didnilai. Sebab, subjek yang menilai kadangkala berada
pada keadaan yang berubah-ubah, seperti sedang marah dan gembira.
C.
Berbagai Kategori dan jenis Pengetahuan
Russel (Hunnex, 2004:8) membuat kategori pengetahuan, yaitu:
1.
Pengetahuan
melalui pengalaman adalah pengertian yang didapatkan dari:
a. data indrawi
b. benda-benda memori
c. keadaan internal
d. diri kita sendiri
2.
Pengetahuan
melalui deskripsi yaitu pengetahuan yang
didapatkan melalui:
a. orang lain;
b. benda-benda fisik (merupakan suatu
konstruksi bukan data indrawi)
Burhanuddin Salam (Bakhtiar, 2004:87)
membedakan pengetahuan dan kebenaran dalam empat kategori, yaitu::
1. Pengetahuan biasa yaitu pengetahuan yang diperoleh
secara common sense: persepsi
lewat indera dan akal, seperti: pil rasanya pahit, gula rasanya manis garam
rasanya asing, air jika dipanasi mendidih, dan sebagainya.
2. Pengetahuan ilmu yaitu pengetahuan yang
diperoleh melalui metode tertentu (ilmiah): induksi, deduksi, dan analitis.
Ilmu adalah pengetahuan, namun tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Hanyalah
pengetahuan yang memiliki kaidah keilmuan yang dapat disebut sebagai ilmu.
Jadi, hanyalah sesuatu objek yang diketahui melalui pengkajian secara ilmiah
yang dapat disebut sebagai ilmu.
3. Pengetahuan filsafat yaitu pengetahuan umum yang
merupakan dasar bagi semua ilmu pengetahuan (induk ilmu pengetahuan). Diperoleh
dengan perenungan atas ketakjuban dari sesuatu untuk mengetahuinya secara
mendalam. Plato (Sudarsono, 1993:2) menyatakan bahwa filsafat dimulai dari ketakjuban.
Plato menyatakan: mata kita memberi pengamatan bintang-bintang, matahari dan
langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari
penyelidikan ini berasal dari filsafat.
4. Pengetahuan agama yaitu pengetahuan
diperoleh dari Tuhan melalui para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak
dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama.
D.
Sumber Pengetahuan
Pada dasarnya manusia memperoleh pengetahuan dari
dua sumber, 1) pengetahuan berasal dari perenungan manusia itu sendiri, 2)
pengetahuan berasal dari pencipta manusia dan alam semesta yaitu wahyu Tuhan.
Bagi manusia yang tidak mempercayai adanya Tuhan seperti materialisme tidak
mempercayai jenis pengetahuan ini. Filsafat sebagai ilmu pengetahuan termasuk
jenis pengetahuan yang disebut pertama karena manusialah yang berfilsafat
sehingga timbullah pengetahuan. Kendatipun pengetahuan diperoleh dari dua
sumber yang disebutkan diatas, manusia memperoleh pengetahuan yang benar,
didasarkan atas: rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu.
1. Rasionalisme
Menurut aliran ini menyatakan bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan
akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek. Jadi
dalam hal ini aliran rasionalisme itu secara umum dibandingkan atau bahkan
dilawankan dengan aliran epirisme. Muhammad Baqir Ash-shadr (1993:37)
mengatakan bahwa dalam pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia terbagi
menjadi dua. Pertama, pengetahuan
yang mesti, atau intuitif, yaitu akal mesti mengakui suatu proposisi tertentu
tanpa mencari dalil atau bukti kebenarannya. Kedua, akal tidak akan mempercayai kebenaran beberapa proposisi,
kecuali dengan pengetahuan-pengetahuan “pendahulu”. Penilaian atas
proposisi-proposisi tersebut bergantung
pada proses pemikiran dan penggalian kebenaran dari kebenaran-kebenaran yang lebih dahulu dan lebih pasti darinya,
seperti:
- “bumi itu bulat”,
- “gerak adalah sebab terjadinya panas”,
- “gerak mundur tak terbatas adalah mustahil”,
- “benda-benda logam itu memuai oleh panas”
2. Empirisme
Kata empirisme berasal dari kata Yunani empirikos,
artinya pengalaman. Menurut aliran empirisme manusia memperoleh pengetahuan
melalui pengalamannya yang konkret, yaitu pengalaman inderawi. Misalnya,
manusia tahu es dingin dan api panas karena ia menyentuhnya, gula manis, pil
pahit karena ia mencicipinya. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan
yang benar, dan metode penelitian yang
menjadi tumpuan aliran ini adalah metode ekperimen.
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania
mengemukakan teori tabularasa (sejenis buku catatan yang kosong). Maksudnya
ialah bahwa manusia lahir bagaikan kertas yang kosong dari pengetahuan, lantas
pengalamannyalah mengisi jiwa yang kosong itu, sehingga ia memiliki pengetahuan.
Makin banyak pengalaman maka makin banyaklah pengetahuan yang dimilikinya.
Pepatah mengatakan: jauh perjalanan banyak dilihat, lama hidup banyak
dirasakan.
3. Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Menurut Henri Bergson (Bakhtiar, 1859:107) intuisi adalah hasil dari
evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi
berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya. Ahmad Tafsir (ibid) menegaskan bahwa
pengembangan kemampuan intuisi memerlukan suatu usaha, Kattsoft (ibid) juga
mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak
dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Selanjutnya Kattsoft, mengatakan intuisi mengatasi
sifat lahiriah pengetahuan simbolis, yang pada dasarnya bersifat analisis,
menyeluruh, mutlak, dan tanpa dibantu oleh penggambaran secara simbolis. Karena
itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.
Analisis atau pengetahuan yang diperoleh lewat pelukisan tidak dapat menggantikan
hasil pengenalan intuisi.
Suriasumantri (1998:53) mengemukakan instuisi
bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun
pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan. Juga Salam
(2000:131) bahwa pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi
analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang
dikemukakan . Kegiatan intuisi dan analisis bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran.
Bagi Nietzchen intuisi merupakan “inteligensi yang paling tinggi” dan bagi
Maslow intuisi merupakan “pengalaman puncak” (peak experience)
4. Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh
Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang
diutusnya. Para nabi memperoleh pengatahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa
bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Kemudian
pengikutnya menerimahnya dengan keyakinan. Berdasarkan keyakinan inilah
merupakan titik tolak dalam agama dan lewat pengkajian selanjutnya dapat
meningkatkan atau menurunkan kepercayaan itu. Disinilah letak perbedaan agama
dengan ilmu pengetahuan, agama dimulai dengan rasa percaya dan lewat pengkajian
selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain
umpamanya ilmu yang dimulai dari rasa tidak percaya dan mengkaji dengan riset, pengalaman, dan percobaan untuk sampai
kepada kebenaran yang faktual.
E.
Sifat dan Kriteria Kebenaran
1. Sifat Kebenaran
Hunnex (2004:18) mengenalkan empat sifat
kebenaran, yaitu: sifat deskriptif, sifat instrumental, sifat substantif, dan
sifat eksistensial.
a. Kebenaran dapat bersifat deskriptif, terdapat dalam sebuah pernyataan, preposisi, atau keyakinan
yang (a) bersifat mesti, yakni secara analisis ia benar, seperti “Jika p
menyiratkan q, dan p adalah kasus maka q juga adalah kasus.” Atau (b) bersifat kemungkinan, yakni secara
empiris ia benar, misalnya: “Bumi itu bulat” “Kebenaran” berfungsi sebagai kata
sifat, seperti keyakinan yang benar.
b. Kebenaran dapat bersifat instrumental, yang terdapat dalam suatu
keyakinan yang menjadi pembimbing bagi pemikiran dan tindakan untuk meraih
kesuksesan, misalnya bertindak dengan keyakinan bahwa sifat api membakar, dapat mencegah seseorang dari
kebakaran. “Kebenaran” berfungsi sebagai
kata keterangan (adverb), yakni seseorang memiliki keyakinan dengan benar
c. Kebenaran dapat bersifat substantif atau ontologi, didasarkan pada kenyataan seperti “Tuhan adalah
kebenaran.” Jadi, kebenaran berfungsi sebagai kata benda.
d. Kebenaran bersifat eksistensial, yakni didasarkan pada salah satu jalan hidup atau
komitmen puncak. Seseorang hidup lebih
baik dari sekedar mengetahui kebenaran. Jadi “kebenaran” berfungsi sebagai kata
kerja.
2. Kriteria Kebanaran
Secara tradisional dikenal dua teori kebenaran,
yaitu: teori kebenaran koherensi, dan teori kebenaran korespondensi. Michael Williams (Muhajir,
1998:13) mengenalkan 5 teori kebenaran, yaitu: kebenaran koherensi, kebenaran
korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi. Muhajir (ibid) menambahkannya
dengan kebenaran paradigmatik, dan Bakhtiar (2004:121) mengemukakan bahwa agama
juga sebagai teori kebenaran.
a. Kebenaran Koherensi
Kebenaran koherensi disebut juga dengan kebenaran konsistensi/harmoni,
yaitu sesuatu pernyataan dikatakan benar apabila di dalamnya terkandung ide-ide
lain yang saling berhubungan secara konsisten mengenai barang sesuatu itu.
Ukuran konsistensi atau koherensi ada dua, yaitu:
1) kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan yang sudah lebih dahulu diketahui, terima dan akui
sebagai benar
2) suatu putusan diangap benar apabila
mendapat penyaksian oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui,
diterima, dan diakui kebenarannya. – teori penyaksian (justifikasi)
Bahtiar (ibid) menegaskan bahwa suatu teori itu
dianggap benar apabila tahan uji (testable).
Artinya, suatu teori yang sudah dicetuskan oleh seseorang kemudian teori
tersebut diuji oleh orang lain, tentunya dengan mengkomparasikan dengan
data-data baru. Oleh karena itu, apabila teori itu bertentangan dengan data
yang baru, secara otomatis teori pertama gugur atau batal (refutability). Sebaliknya, kalau data itu cocok dengan teori lama,
teori itu semakin kuat (corroborational)
b. Kebenaran Korespondensi
Kebenaran korespondensi yaitu sesuatu dikatakan
benar apabila ada kesesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu
sendiri. Jadi, kebenaran ada pada
realita obyektif ( obyective reality). Ukuran dari teori ini ada dua
hal, yaitu:
1) pernyataan, dan 2) kenyataan. Dikatakan
benar apabila pernyataan sesuai dengan kenyataan. Misalnya: Makassar adalah Ibu
kota Provinsi Sulawesi Selatan (benar) - pernyataan dan kenyataan sesuai. Kalau
Pare-pare adalah ibu kota provinsi Sulawesi Selatan (salah) - pernyataan tidak
sesuai dengan kenyataan, karena
Pare-pare bukan ibu kota
provinsi.
c. Kebenaran performatif
Kebenaran performatif yaitu sesuatu dikatakan benar
apabila memang dapat diaktualkan dalam tindakan. Jadi, sebagai ukuran
kebanaran, yaitu kemungkinan dapat dikerjakan (workability). Apa bila
sesuatu yang tidak mungkin dapat dikerjakan, maka teori performatif menyatakan
hal yang tidak benar (salah). Misalnya: menyiapkan komputer untuk proses
pembelajaran di daerah yang tidak tersedia tenaga listrik. Hal ini tidak benar
(salah) karena komputer tersebut tidak dapat dioperasikan
d. Kebenaran pragmatik
Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma
artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi
filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat. Menurut teori
kebenaran pragmatis, sesuatu dikatakan benar jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu bersifat fungsional. Artinya: mempunyai
kegunaan praktis atau mendatangkan manfaat (utility) bagi kehidupan
manusia. Sebaliknya dikatakan salah jika pernyataan itu tidak mendatangkan
manfaat.
Kriteria paragmatisme ini juga dipergunakan oleh
ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara
hitoris maka pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin
tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan bersifat
paragmatis: selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar. Sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan
baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Demikian pula suatu pernyataan mungkin
benar ditempat itu, tetapi ditempat lain dinyatakan tidak benar. Oleh karena
itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran
berdasarkan pada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu.
e. Kebenaran proposisi
Kebenaran proposisi yaitu suatu kebenaran yang
dilihat dari segi persyaratan formal suatu proposisi. bukan materialnya. Misal:
|
½ gelas isi = ½ gelas kosong
|
f. Kebenaran paradigmatik
Kebenaran Struktural Paradigmatik adalah perkembangan
dari kebenaran korespondensi sebagai akibat dari rekonstruksi rasional menjadi
suatu paradigma yaitu suatu kebenaran jika ada hubungan struktural antar
berbagai sesuatu yang konstan.
g. Kebenaran Agama
Kebenaran Agama, berbeda dengan teori kebenaran
lainnya yang mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia. Kebenaran
agama lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sesuatu yang benar apabila sesuai dengan
ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
No comments:
Post a Comment