Powered By Blogger

September 3, 2013

Makalah Paradigma Ilmu Administrasi Mutakhir




BAB I

A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang
          Paradigma administrasi Negara sudah jauh bergeser dan meninggalkan pendulum dikotomi politik-administrasi. Dalam konteks kekinian, paradigma dikotomi politik-administrasi yang terkenal dengan adagium  when political end, administrative begin kurang relevan dengan perkembangan teori dan praktik administrasi negara. Bahkan sebenarnya, administrasi negara sudah lama meninggalkan paradigma ke-5 dalam ilmu administrasi negara yaitu administrasi negara sebagai administrasi negara (1970-?) sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry. Henry hanya menentukan bahwa paradigma ke-5 dimulai sejak tahun 1970, tetapi ia tidak memberi batasan sampai berapa lama paradigma ke-5 bertahan. Sejak 1990 sampai saat ini teori dan konsep administrasi negara sudah berkembang sangat pesat, terutama dengan munculnya paradigma New Public Management (NPM) pada permulaan tahun 1990 yang kemudian disusul oleh New Public Service (NPS) pada tahun 2000an.

2.      Rumusan masalah:
a.     NPM (New Public Management)
b.     NPS (New Pubic Services)
c.      Governance








BAB II

A. Pembahasan
1.     NPM (New Public Management)
Konsep New Public Management atau NPM adalah paradigma baru dalam manajemen sektor publik. Ia biasanya dilawankan dengan Old Publik Managemen (OPM). Konsep NPM muncul tahun 1980-an dan digunakan untuk melukiskan reformasi sektor publik di Inggris dan Selandia Baru. NPM menekankan pada control atas output kebijakan pemerintah, desentralisasi otoritas manajemen, pengenalan pada pasar dan kuasi-mekanisme pasar, serta layanan yang berorientasi customer (warganegara).
Di Inggris, meningkatnya tekanan atas pemerintah seputar masalah ekonomi seperti pengangguran dan inflasi memaksa PM Margaret Thatcher meresponnya dengan mereformasi sektor pemerintahan. NPM menjadi popular di awal 1990-an tatkala diadopsi oleh administrasi Clinton di Amerika Serikat.
NPM diyakini punya peran efektif bagi reformasi sektor publik. Ini terlihat dari peningkatan jumlah Negara yang mengintroduksikan prinsip-prinsip NPM di dalam pemerintahan mereka. IMF dan World Bank adalah beberapa badan keuangan dunia yang sekaligus merupakan pembela paradigma NPM ini. Tidak hanya itu, NPM juga popular di Negara-negara seperti India, Jamaika, dan Thailand.

1.1  Asal-Muasal NPM
Pendekatan NPM atas manajemen publik bangkit selaku kritik atas birokrasi. Selama ini, birokrasi erat dikaitkan dengan manajemen sektor publik itu sendiri. Birokrasi dianggap erat berkait dengan keengganan maju, kompleksitas hirarki jabatan dan tugas, serta mekanisme pembuatan keputusan yang top-down. Juga, birokrasi dituduh telah menjauhkan diri dari harapan publik.
Fokus dari NPM sebagai sebuah gerakan adalah, pengadopsian keunggulan teknik manajemen perusahaan swasta untuk diimplementasikan dalam sektor publik dan pengadministrasiannya. Sementara pemerintah distereotipkan kaku, birokratis, mahan, dan inefisien, sektor swasta ternyata jauh lebih berkembang karena terbiasa berkompetisi dan menemukan peluang-peluang baru. Sebab itu, sektor swasta banyak melakukan inovasi-inovasi baru dan prinsip-prinsip kemanajemenannya.
Dalam NPM, pemerintah dipaksa untuk mengadopsi, baik teknik-teknik administrasi bisnis juga nilai-nilai bisnis. Ini meliputi nilai-nilai seperti kompetisi, pilihan pelanggan, dan respek atas semangat kewirausahaan. Sejak tahun 1990-an, reformasi-reformasi di sektor publik menghendaki keunggulan-keunggulan yang ada di sektor swasta diadopsi dalam prinsip-prinsip manajemen sektor publik.

1.2 Prinsip-prinsip NPM
NPM adalah konsep “payung”, yang menaungi serangkaian makna seperti desain organisasi dan manajemen, penerapan kelembagaan ekonomi atas manajemen publik, serta pola-pola pilihan kebijakan. Telah muncul sejumlah debat seputar makna asli dari NPM ini. Namun, di antara sejumlah perdebatan itu muncul beberapa kesamaan yang dapat disebut sebagai prinsip dari NPM, yang meliputi:
a.    Penekanan pada manajemen keahlian manajemen professional dalam mengendalikan organisasi;
b.    Standar-standar yang tegas dan terukur atas performa organisasi, termasuk klarifikasi tujuan, target, dan indikator-indikator keberhasilannya;
c.    Peralihan dari pemanfaatan kendali input menjadi output, dalam prosedur-prosedur birokrasi, yang kesemuanya diukur lewat indikator-indikator performa kuantitatif;
d.   Peralihan dari system manajemen tersentral menjadi desentralistik dari unit-unit sektor publik;
e.    Pengenalan pada kompetisi yang lebih besar dalam sektor publik, seperti penghematan dana dan pencapaian standar tinggi lewat kontrak dan sejenisnya;
f.     Penekanan pada praktek-praktek manajemen bergaya perusahaan swasta seperti kontrak kerja singkat, pembangunan rencana korporasi, dan pernyataan misi dan penekanan pada pemangkasan, efisiensi, dan melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang sedikit.
1.3 NPM di Indonesia
Telah disampaikan, NPM terutama diterapkan tidak hanya di Negara-negara dengan level kemakmuran tinggi seperti Inggris, Swedia, ataupun Selandia Baru, tetapi juga di Negara-negara dengan tingkat kondisi yang setara Indonesia seperti India, Thailand ataupun Jamaika. Dalam penerapannya di Indonesia, satu penelitian yang diangkat oleh Samodra Wibawa dari Fisipol Universitas Gadjah Mada menemukan sejumlah persoalan tatkala konsep-konsep dalam NPM diterapkan di sejumlah kabupaten.
Wibawa menemukan sejumlah hambatan tatkala NPM coba diterapkan di kabupaten-kabupaten Indonesia. Pertama, dalam hal manajemen kontrak, DPRD dipandang belum mampu merumuskan produk dan menetapkan standar kualitas bagi setiap instansi pemerintahan. Kedua, pola komando dalam bioraksi masih cukup kuat, di mana komunikasi lebih bersifat atas-bawah ketimbang sebaliknya.

2.    NPS (New Public Services)
Paradigma administrasi Negara sudah jauh bergeser dan meninggalkan pendulum dikotomi politik-administrasi. Dalam konteks kekinian, paradigma dikotomi politik-administrasi yang terkenal dengan adagium when political end, administrative begin kurang relevan dengan perkembangan teori dan praktik administrasi negara. Bahkan sebenarnya, administrasi negara sudah lama meninggalkan paradigma ke-5 dalam ilmu administrasi negara yaitu administrasi negara sebagai administrasi negara (1970-?) sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry.  Henry hanya menentukan bahwa paradigma ke-5 dimulai sejak tahun 1970, tetapi ia tidak memberi batasan sampai berapa lama paradigma ke-5 bertahan. Sejak 1990 sampai saat ini teori dan konsep administrasi negara sudah berkembang sangat pesat, terutama dengan munculnya paradigma New Public Management (NPM) pada permulaan tahun 1990 yang kemudian disusul oleh New Public Service (NPS) pada tahun 2000an.
Dalam memahami teori administrasi negara secara paradigmatik, tulisan Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt yang berjudul The New Public Service: Serving, not Steering dapat digunakan untuk menemukenali perkembangan paradigma administrasi negara klasik sampai administrasi negara kontemporer. Tulisan tersebut diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2003 di New York. Sejak kemunculannya buku ini mendapat respon yang positif dari kalangan cendikiawan administrasi negara karena dianggap mampu memberikan perspektif alternatif dalam memandang administrasi negara. 
Sebelum terbit berbentuk buku, pada tahun 2000 Denhardt dan Denhardt sudah pernah mempublikasikan tulisan yang sama, namun dengan judul yang berbeda yaitu The New Public Service: Serving Rather than Steering dalam jurnal Public Administration Review.  Kemudian disusul dengan tulisan yang lain tetapi kurang lebih dengan ide yang sama dalam International Review of Public Administration pada tahun 2003, dengan judul The New Public Service: An Approach to Reform.  Buku yang diterbitkan pada tahun 2003 adalah repetisi dan modifikasi dari dua tulisan yang pernah muncul sebelumnya.
Denhardt dan Denhardt mencoba membagi paradigma administrasi Negara atas tiga kelompok besar, yaitu paradigma The Old Public Administration (OPA), The New Public Management (NPM) dan The New Public Service (NPS). Menurut Denhardt dan Denhardt  paradigma OPA dan NPM kurang relevan dalam mengaddres persoalan-persoalan publik.

2.1   NPS: Kritik terhadap NPM
Dalam pandangan NPM, organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Menurut Osborne dan Gaebler, peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya sebagai nahkoda yang mengarahkan (steer) lajunya kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut. Urusan kayuh-mengayuh  diserahkan kepada organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat dan organisasi masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi domestikasi pemerintah. Tugas pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah energi ekstra untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih strategis, misalnya persoalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan luar negeri.
Paradigma steering rather than rowing ala NPM dikritik oleh Denhardt dan Denhardt sebagai paradigma yang melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who owned the boat). Seharusnya pemerintah memfokuskan usahanya untuk melayani dan memberdayakan warga negara karena merekalah pemilik “kapal”. Selengkapnya, Denhardt dan Denhardt menulis sebagai berikut:
In our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat…Accordingly, public administrators should focus on their responsibility to serve and empower citizens as they manage public organizations and implement public policy. In other words, with citizens at the forefront, the emphasis should not be placed on either steering or rowing tha governmental boat, but rather on building public institutions marked by integrity and responsiveness.

Akar dari NPS dapat ditelusuri dari berbagai ide tentang demokrasi yang pernah dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo. NPS berakar dari beberapa teori, yang meliputi:
a.    Teori tentang demokrasi kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan komitmen guna menghindari konflik.
b.    Model komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan yang demokratis.
c.    Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.
d.   Administrasi negara postmodern; mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam memecahkan persoalan publik daripada menggunakan one best way perspective.

Dilihat dari teori yang mendasari munculnya NPS, nampak bahwa NPS mencoba mengartikulasikan berbagi teori dalam menganalisis persoalan-persoalan publik. Oleh karena itu, dilihat dari berbagai aspek, menurut Denhardt dan Denhardt paradigma NPS memiliki perbedaan karakteristik dengan NPM. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.




Tabel 1.
Diferensiasi  NPM dan NPS
Aspek
New Public Management
New Public Service
Dasar teoritis dan
fondasi epistimologi
Teori ekonomi
Teori demokrasi
Rasionalitas dan model perilaku Manusia
Teknis dan rasionalitas ekonomi (economic man)
Rasionalitas strategis atau rasionaitas formal (politik, ekonomi dan organisasi)
Konsep
kepentingan publik
Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu
Kepentingan publik
adalah hasil dialog
berbagai nilai
Responsivitas
birokrasi publik
Customer
Citizen’s
Peran pemerintah
Steering
Serving
Pencapaian tujuan
Organisasi privat dan nonprofit
Koalisi antarorganisasi publik, nonprofit dan privat
Akuntabilitas
Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
Multiaspek: akuntabilitas
hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional
Diskresi administrasi
Diskresi diberikan secara luas
Diskresi dibutuhkan tetapi dibatasi dan bertanggung-jawab
Struktur organisasi
Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
Asumsi terhadap
motivasi pegawai
dan administrator
Semangat entrepreneur
Pelayanan publik dengan
keinginan melayani
masyarakat





           













Seperti halnya Osborne dan Gaebler, Denhardt dan Denhardt juga merumuskan prinsip-prinsip NPS yang memiliki diferensiasi dengan prinsip-prinsip OPA dan NPM. NPS mengajak pemerintah untuk:
a.    Melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan pelanggan; melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate) negara bukan pelanggan.
b.    Memenuhi kepentingan publik; kepentingan publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara tidak boleh melempar tanggung-jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan publik.
c.    Mengutamakan warganegara di atas kewirausahaan; kewirausahaan itu penting, tetapi warga negara berada di atas segala-galanya.
d.   Berpikir strategis dan bertindak demokratis; pemerintah harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
e.    Menyadari komplekstitas akuntabilitas; pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat.
f.     Melayani bukan mengarahkan; fungsi utama pemerintah adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.
g.    Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas; kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas meskipun bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
2.2  Otokritik terhadap NPS
NPS adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover) kelemahan-kelemahan NPM. Namun demkian, apakah NPS tidak memiliki kekurangan? Berikut ini akan diuraikan beberapa kritik terkait dengan beberapa kelemahan NPS.
a.  Pendekatan politik dalam administrasi negara
Secara epistimologis, NPS berakar dari filsafat politik tentang demokrasi. Denhardt dan Denhardt menspesifikasikkannya menjadi demokrasi kewargaaan. Demokrasi merupakan suatu paham pemerintahan yang berdasarkan pada aturan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bersama.  Dalam konteks demokrasi kewargaan, demokrasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan warga negara secara keseluruhan. Warga negara memiliki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga negara berhak terlibat dalam setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan kebijakan).
Denhardt dan Denhardt berhasil mencari akar mengapa pemerintah harus melayani (serve) bukan mengarahkan (steer), mengapa pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai warga negara (citizens) bukan sebagai pelanggan (customers), tetapi mereka lupa bahwa nalar politik telah masuk dalam upaya pencarian state of the art administrasi negara--pelayanan publik. Lebih jauh, Denhardt dan Denhardt telah terjerembab dalam pendulum administrasi negara sebagai ilmu politik (paradigma 3). Padahal, dengan merumuskan NPS sebagai antitesa terhadap NPM berarti mereka meyakini bahwa administrasi negara telah bergerak melewati paradigma.
b. Standar ganda dalam mengkritik NPM
NPS berusaha mengkritik NPM, tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS hanyalah kritik secara filosofis-ideologis bukan kritik atas realitas pelaksanaan NPM yang gagal di banyak negara. NPM memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara maju lainnya, tetapi bagaimana penerapannya di negara-negara berkembang? Kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti negara-negara di kawasan benua Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan ideologi, politik, ekonomi dan sosial-budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya, negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan.
c.  Aplikasi NPS masih diragukan
Prinsip-prinsip NPS belum tentu bisa diaplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi. Administrasi negara sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (ideologi, politik, hukum, ekonomi, militer, sosial dan budaya), sehingga suatu paradigma yang sukses di suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada tempat yang lain. Prinsip-prinsip NPS masih terlalu abstrak dan perlu dikonkritkan lagi. Prinsip dasar NPS barangkali bisa diterima semua pihak, namun bagaimana prinsip ini bisa diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.
Lagi pula, NPS terlalu mensimplifikasikan peran pemerintah pada aspek pelayanan publik. Padahal, urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menyelenggarakan pelayanan publik, tetapi juga menyangkut bagaimana melakukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan (development acceleration) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena negara-negara tersebut relatif sudah stabil, maka pelayanan publik menjadi program prioritas yang strategis. Namun, bagi negara-negara berkembang, pelayanan publik bisa jadi belum menjadi agenda prioritas karena masih berupaya mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.

2.3 Epilog
paradigma yang relatif masih baru dalam kajian administrasi negara. NPS berakar dari teori demokrasi kewargaan, model komunitas dan masyarakat sipil, teori organisasi humanis dan administrasi negara baru serta administrasi negara postmodern. NPS memiliki perbedaan karakteristik dengan NPM. NPS berusaha menutupi kekurangan-kekurangan pada paradigma NPM dengan menawarkan sejumah opsi. Inti dari paradigma NPS adalah mereposisi peran negara dan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Nalar politik sangat kental dalam mencari akar NPS. Namun NPS sendiri alpa dalam mengkaji landasan filosofis-ideologis NPM sehingga NPM berbeda dengan NPS.


3.      Governance
Governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif
3.1  Good Governance
Good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Istilah good governance lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi. Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga  legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB).
Good governance (tata pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi mimpi buruk banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga
Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik maka harus memiliki beberapa bidang yang dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai, yang meliputi (Efendi, 2005):
a.       Politik, merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti:
1)      UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good governance. Konsep good governance itu dilakukan dalam pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia.
2)      Perubahan UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat.
3)      Reformasi agraria dan perburuhan.
4)      Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI.
5)      Penegakan supremasi hokum.
b.      Ekonomi, Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera.
c.        Sosial, masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut.
d.      Hukum, dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak akan dapat  berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.

Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan
Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik.
Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.



















                                                                                                  

BAB III

A. Penutup
1. Kesimpulan
Konsep NPM muncul tahun 1980-an dan digunakan untuk melukiskan reformasi sektor publik di Inggris dan Selandia Baru. NPM menekankan pada control atas output kebijakan pemerintah, desentralisasi otoritas manajemen, pengenalan pada pasar dan kuasi-mekanisme pasar, serta layanan yang berorientasi customer (warganegara)

NPS adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover) kelemahan-kelemahan paradigma NPM.

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang sedang berjuang dan mendambakan clean and good governance. Untuk mencapai good governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting pemerintahan. Sehingga apa yang didambakan Indonesia menjadi negara yang Clean and good governance dapat terwujud  dan hilangnya faktor-faktor  Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Masyarakat dan pemerintah yang masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah tersebut seharusnya menjalin harmonisasi dan kerjasama mengatasi masalah-masalah yang ada.

Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik tercermin dalam berbagai bidang yang memiliki peran yang peting dalam gerak roda pemerintahan di Indonesia yang meliputi: bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum.



DAFTAR PUSTAKA

§ Hiromi Yamamoto, New Publik Management: Japan’s Practice, (Japan: Institute for International Policy Studies, 2003)
§ Samodra Wibawa, New Publik Management sebagai Model Administrasi Kabupaten, (Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2002)
§ Denhardt, Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving, not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
§ Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Service Rather than Steering”. Public Administration Review 60 (6).
§ Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to Reform”. International Review of Public Administration 8 (1).
§ Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
§ Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama). Yogyakarta: Gava Media.
§ Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Reinventing Government    (Mewirausahakan Birokrasi): Sepuluh Prinsip untuk Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.
§ Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajahmada Universiti Press.
§  Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September 2005.
§ Hardjasoemantri, Koesnadi. 2003. Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia. Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
§ Mardoto. 2009. Mengkritisi Clean And Good Governance Di Indonesia.

No comments:

Post a Comment