BAB
I
A.
Pendahuluan
1.
Latar belakang
Paradigma administrasi Negara sudah jauh bergeser
dan meninggalkan pendulum dikotomi politik-administrasi. Dalam konteks
kekinian, paradigma dikotomi politik-administrasi yang terkenal dengan adagium when
political end, administrative begin kurang relevan dengan perkembangan
teori dan praktik administrasi negara. Bahkan sebenarnya, administrasi negara
sudah lama meninggalkan paradigma ke-5 dalam ilmu administrasi negara yaitu
administrasi negara sebagai administrasi negara (1970-?) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Henry. Henry hanya menentukan bahwa paradigma ke-5 dimulai
sejak tahun 1970, tetapi ia tidak memberi batasan sampai berapa lama paradigma
ke-5 bertahan. Sejak 1990 sampai saat ini teori dan konsep administrasi negara
sudah berkembang sangat pesat, terutama dengan munculnya paradigma New Public Management (NPM) pada
permulaan tahun 1990 yang kemudian disusul oleh New Public Service (NPS) pada tahun 2000an.
2.
Rumusan masalah:
a. NPM (New Public Management)
b. NPS (New Pubic Services)
c.
Governance
BAB II
A. Pembahasan
1. NPM (New Public Management)
Konsep New Public Management atau NPM
adalah paradigma baru dalam manajemen sektor publik. Ia biasanya dilawankan
dengan Old Publik Managemen (OPM). Konsep NPM muncul tahun 1980-an dan
digunakan untuk melukiskan reformasi sektor publik di Inggris dan Selandia
Baru. NPM menekankan pada control atas output kebijakan pemerintah,
desentralisasi otoritas manajemen, pengenalan pada pasar dan kuasi-mekanisme
pasar, serta layanan yang berorientasi customer (warganegara).
Di Inggris, meningkatnya tekanan atas pemerintah seputar
masalah ekonomi seperti pengangguran dan inflasi memaksa PM Margaret Thatcher
meresponnya dengan mereformasi sektor pemerintahan. NPM menjadi popular di awal
1990-an tatkala diadopsi oleh administrasi Clinton di Amerika Serikat.
NPM diyakini punya peran efektif bagi reformasi sektor
publik. Ini terlihat dari peningkatan jumlah Negara yang mengintroduksikan
prinsip-prinsip NPM di dalam pemerintahan mereka. IMF dan World Bank adalah
beberapa badan keuangan dunia yang sekaligus merupakan pembela paradigma NPM
ini. Tidak hanya itu, NPM juga popular di Negara-negara seperti India, Jamaika,
dan Thailand.
1.1 Asal-Muasal NPM
Pendekatan NPM atas manajemen publik bangkit
selaku kritik atas birokrasi. Selama ini, birokrasi erat dikaitkan dengan
manajemen sektor publik itu sendiri. Birokrasi dianggap erat berkait dengan
keengganan maju, kompleksitas hirarki jabatan dan tugas, serta mekanisme
pembuatan keputusan yang top-down. Juga, birokrasi dituduh telah menjauhkan
diri dari harapan publik.
Fokus
dari NPM sebagai sebuah gerakan adalah, pengadopsian keunggulan teknik
manajemen perusahaan swasta untuk diimplementasikan dalam sektor publik dan
pengadministrasiannya. Sementara pemerintah distereotipkan kaku, birokratis,
mahan, dan inefisien, sektor swasta ternyata jauh lebih berkembang karena
terbiasa berkompetisi dan menemukan peluang-peluang baru. Sebab itu, sektor
swasta banyak melakukan inovasi-inovasi baru dan prinsip-prinsip
kemanajemenannya.
Dalam
NPM, pemerintah dipaksa untuk mengadopsi, baik teknik-teknik administrasi
bisnis juga nilai-nilai bisnis. Ini meliputi nilai-nilai seperti kompetisi, pilihan
pelanggan, dan respek atas semangat kewirausahaan. Sejak tahun 1990-an,
reformasi-reformasi di sektor publik menghendaki keunggulan-keunggulan yang ada
di sektor swasta diadopsi dalam prinsip-prinsip manajemen sektor publik.
1.2 Prinsip-prinsip NPM
NPM
adalah konsep “payung”, yang menaungi serangkaian makna seperti desain
organisasi dan manajemen, penerapan kelembagaan ekonomi atas manajemen publik,
serta pola-pola pilihan kebijakan. Telah muncul sejumlah debat seputar makna
asli dari NPM ini. Namun, di antara sejumlah perdebatan itu muncul beberapa
kesamaan yang dapat disebut sebagai prinsip dari NPM, yang meliputi:
a. Penekanan pada manajemen keahlian manajemen
professional dalam mengendalikan organisasi;
b. Standar-standar yang tegas dan terukur atas performa
organisasi, termasuk klarifikasi tujuan, target, dan indikator-indikator
keberhasilannya;
c. Peralihan dari pemanfaatan kendali input
menjadi output, dalam prosedur-prosedur birokrasi, yang kesemuanya diukur lewat
indikator-indikator performa kuantitatif;
d. Peralihan dari system manajemen tersentral
menjadi desentralistik dari unit-unit sektor publik;
e. Pengenalan pada kompetisi yang lebih besar
dalam sektor publik, seperti penghematan dana dan pencapaian standar tinggi
lewat kontrak dan sejenisnya;
f. Penekanan pada praktek-praktek manajemen
bergaya perusahaan swasta seperti kontrak kerja singkat, pembangunan rencana
korporasi, dan pernyataan misi dan penekanan pada pemangkasan, efisiensi, dan
melakukan lebih banyak dengan sumber daya yang sedikit.
1.3 NPM di Indonesia
Telah
disampaikan, NPM terutama diterapkan tidak hanya di Negara-negara dengan level
kemakmuran tinggi seperti Inggris, Swedia, ataupun Selandia Baru, tetapi juga
di Negara-negara dengan tingkat kondisi yang setara Indonesia seperti India,
Thailand ataupun Jamaika. Dalam penerapannya di Indonesia, satu penelitian yang
diangkat oleh Samodra Wibawa dari Fisipol Universitas Gadjah Mada menemukan
sejumlah persoalan tatkala konsep-konsep dalam NPM diterapkan di sejumlah
kabupaten.
Wibawa
menemukan sejumlah hambatan tatkala NPM coba diterapkan di kabupaten-kabupaten
Indonesia. Pertama, dalam hal manajemen kontrak, DPRD dipandang belum mampu
merumuskan produk dan menetapkan standar kualitas bagi setiap instansi
pemerintahan. Kedua, pola komando dalam bioraksi masih cukup kuat, di mana
komunikasi lebih bersifat atas-bawah ketimbang sebaliknya.
2. NPS (New Public Services)
Paradigma administrasi Negara sudah jauh bergeser dan meninggalkan pendulum
dikotomi politik-administrasi. Dalam konteks kekinian, paradigma dikotomi
politik-administrasi yang terkenal dengan adagium when political end,
administrative begin kurang relevan dengan perkembangan teori dan praktik
administrasi negara. Bahkan sebenarnya, administrasi negara sudah lama
meninggalkan paradigma ke-5 dalam ilmu administrasi negara yaitu administrasi
negara sebagai administrasi negara (1970-?) sebagaimana yang dikemukakan oleh
Henry. Henry hanya menentukan bahwa
paradigma ke-5 dimulai sejak tahun 1970, tetapi ia tidak memberi batasan sampai
berapa lama paradigma ke-5 bertahan. Sejak 1990 sampai saat ini teori dan
konsep administrasi negara sudah berkembang sangat pesat, terutama dengan
munculnya paradigma New Public Management (NPM) pada permulaan tahun 1990 yang
kemudian disusul oleh New Public Service (NPS) pada tahun 2000an.
Dalam memahami teori administrasi negara secara paradigmatik, tulisan Janet
V. Denhardt dan Robert B. Denhardt yang berjudul The New Public Service:
Serving, not Steering dapat digunakan untuk menemukenali perkembangan paradigma
administrasi negara klasik sampai administrasi negara kontemporer. Tulisan
tersebut diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2003 di New
York. Sejak kemunculannya buku ini mendapat respon yang positif dari kalangan
cendikiawan administrasi negara karena dianggap mampu memberikan perspektif
alternatif dalam memandang administrasi negara.
Sebelum terbit berbentuk buku, pada tahun 2000 Denhardt dan Denhardt sudah
pernah mempublikasikan tulisan yang sama, namun dengan judul yang berbeda yaitu
The New Public Service: Serving Rather than Steering dalam jurnal Public
Administration Review. Kemudian disusul
dengan tulisan yang lain tetapi kurang lebih dengan ide yang sama dalam
International Review of Public Administration pada tahun 2003, dengan judul The
New Public Service: An Approach to Reform.
Buku yang diterbitkan pada tahun 2003 adalah repetisi dan modifikasi
dari dua tulisan yang pernah muncul sebelumnya.
Denhardt dan
Denhardt mencoba membagi paradigma administrasi Negara atas tiga kelompok
besar, yaitu paradigma The Old Public Administration (OPA), The New Public
Management (NPM) dan The New Public Service (NPS). Menurut Denhardt dan
Denhardt paradigma OPA dan NPM kurang
relevan dalam mengaddres persoalan-persoalan publik.
2.1
NPS: Kritik terhadap
NPM
Dalam
pandangan NPM, organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Menurut
Osborne dan Gaebler, peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya sebagai
nahkoda yang mengarahkan (steer) lajunya kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut.
Urusan kayuh-mengayuh diserahkan kepada
organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat dan organisasi
masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi domestikasi pemerintah. Tugas
pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah energi ekstra
untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih
strategis, misalnya persoalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan
luar negeri.
Paradigma
steering rather than rowing ala NPM dikritik oleh Denhardt dan Denhardt sebagai
paradigma yang melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who owned the boat).
Seharusnya pemerintah memfokuskan usahanya untuk melayani dan memberdayakan
warga negara karena merekalah pemilik “kapal”. Selengkapnya, Denhardt dan
Denhardt menulis sebagai berikut:
In our rush to steer,
perhaps we are forgetting who owns the boat…Accordingly, public administrators
should focus on their responsibility to serve and empower citizens as they
manage public organizations and implement public policy. In other words, with
citizens at the forefront, the emphasis should not be placed on either steering
or rowing tha governmental boat, but rather on building public institutions
marked by integrity and responsiveness.
Akar
dari NPS dapat ditelusuri dari berbagai ide tentang demokrasi yang pernah
dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo. NPS berakar dari beberapa teori, yang
meliputi:
a.
Teori tentang demokrasi
kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam pengambilan kebijakan dan
pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan komitmen guna menghindari
konflik.
b.
Model komunitas dan masyarakat
sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil dengan membangun social
trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan yang
demokratis.
c.
Teori organisasi humanis dan
administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus pada organisasi yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.
d.
Administrasi negara postmodern;
mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam memecahkan persoalan
publik daripada menggunakan one best way perspective.
Dilihat
dari teori yang mendasari munculnya NPS, nampak bahwa NPS mencoba
mengartikulasikan berbagi teori dalam menganalisis persoalan-persoalan publik.
Oleh karena itu, dilihat dari berbagai aspek, menurut Denhardt dan Denhardt
paradigma NPS memiliki perbedaan karakteristik dengan NPM. Perbedaan tersebut
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1.
Diferensiasi NPM dan NPS
Aspek
|
New Public Management
|
New Public Service
|
Dasar teoritis dan
fondasi epistimologi
|
Teori ekonomi
|
Teori demokrasi
|
Rasionalitas dan model perilaku Manusia
|
Teknis dan rasionalitas ekonomi (economic
man)
|
Rasionalitas strategis atau rasionaitas
formal (politik, ekonomi dan organisasi)
|
Konsep
kepentingan publik
|
Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu
|
Kepentingan publik
adalah hasil dialog
berbagai nilai
|
Responsivitas
birokrasi publik
|
Customer
|
Citizen’s
|
Peran pemerintah
|
Steering
|
Serving
|
Pencapaian tujuan
|
Organisasi privat dan nonprofit
|
Koalisi antarorganisasi publik,
nonprofit dan privat
|
Akuntabilitas
|
Bekerja
sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
|
Multiaspek: akuntabilitas
hukum, nilai-nilai, komunitas,
norma politik, standar profesional
|
Diskresi administrasi
|
Diskresi diberikan secara luas
|
Diskresi
dibutuhkan tetapi dibatasi dan bertanggung-jawab
|
Struktur organisasi
|
Desentralisasi
organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
|
Struktur
kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
|
Asumsi terhadap
motivasi pegawai
dan administrator
|
Semangat entrepreneur
|
Pelayanan
publik dengan
keinginan
melayani
masyarakat
|
Seperti
halnya Osborne dan Gaebler, Denhardt dan Denhardt juga merumuskan
prinsip-prinsip NPS yang memiliki diferensiasi dengan prinsip-prinsip OPA dan
NPM. NPS mengajak pemerintah untuk:
a. Melayani masyarakat sebagai warga negara,
bukan pelanggan; melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah
pemilik sah (legitimate) negara bukan
pelanggan.
b. Memenuhi kepentingan publik; kepentingan
publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk
memenuhinya. Negara tidak boleh melempar tanggung-jawabnya kepada pihak lain
dalam memenuhi kepentingan publik.
c. Mengutamakan warganegara di atas
kewirausahaan; kewirausahaan itu penting, tetapi warga negara berada di atas
segala-galanya.
d. Berpikir strategis dan bertindak
demokratis; pemerintah harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan
dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
e. Menyadari komplekstitas akuntabilitas;
pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus
dilakukan dengan metode yang tepat.
f. Melayani bukan mengarahkan; fungsi utama
pemerintah adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.
g. Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan
produktivitas; kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas meskipun
bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.
2.2 Otokritik terhadap NPS
NPS adalah
cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover)
kelemahan-kelemahan NPM. Namun demkian, apakah NPS tidak memiliki kekurangan?
Berikut ini akan diuraikan beberapa kritik terkait dengan beberapa kelemahan
NPS.
a. Pendekatan politik dalam administrasi
negara
Secara epistimologis, NPS
berakar dari filsafat politik tentang demokrasi. Denhardt dan Denhardt
menspesifikasikkannya menjadi demokrasi kewargaaan. Demokrasi merupakan suatu
paham pemerintahan yang berdasarkan pada aturan untuk mewujudkan kesejahteraan
dan kebaikan bersama. Dalam konteks
demokrasi kewargaan, demokrasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintahan yang
berorientasi pada kepentingan warga negara secara keseluruhan. Warga negara
memiliki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga negara berhak
terlibat dalam setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan kebijakan).
Denhardt dan Denhardt berhasil
mencari akar mengapa pemerintah harus melayani (serve) bukan mengarahkan
(steer), mengapa pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai
warga negara (citizens) bukan sebagai pelanggan (customers), tetapi mereka lupa
bahwa nalar politik telah masuk dalam upaya pencarian state of the art
administrasi negara--pelayanan publik. Lebih jauh, Denhardt dan Denhardt telah
terjerembab dalam pendulum administrasi negara sebagai ilmu politik (paradigma
3). Padahal, dengan merumuskan NPS sebagai antitesa terhadap NPM berarti mereka
meyakini bahwa administrasi negara telah bergerak melewati paradigma.
b. Standar ganda dalam mengkritik NPM
NPS berusaha mengkritik NPM,
tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS hanyalah kritik secara
filosofis-ideologis bukan kritik atas realitas pelaksanaan NPM yang gagal di
banyak negara. NPM memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
Selandia Baru dan beberapa negara maju lainnya, tetapi bagaimana penerapannya
di negara-negara berkembang? Kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk
Indonesia dan negara miskin, seperti negara-negara di kawasan benua Afrika yang
gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan ideologi,
politik, ekonomi dan sosial-budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya, negara
tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan.
c. Aplikasi NPS masih diragukan
Prinsip-prinsip NPS belum
tentu bisa diaplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi. Administrasi
negara sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (ideologi, politik, hukum,
ekonomi, militer, sosial dan budaya), sehingga suatu paradigma yang sukses di
suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada tempat yang lain.
Prinsip-prinsip NPS masih terlalu abstrak dan perlu dikonkritkan lagi. Prinsip
dasar NPS barangkali bisa diterima semua pihak, namun bagaimana prinsip ini
bisa diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.
Lagi pula,
NPS terlalu mensimplifikasikan peran pemerintah pada aspek pelayanan publik.
Padahal, urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan bagaimana
menyelenggarakan pelayanan publik, tetapi juga menyangkut bagaimana melakukan
pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara maju
seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru yang tidak lagi berkutat
pada upaya percepatan pembangunan (development
acceleration) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena negara-negara
tersebut relatif sudah stabil, maka pelayanan publik menjadi program prioritas
yang strategis. Namun, bagi negara-negara berkembang, pelayanan publik bisa
jadi belum menjadi agenda prioritas karena masih berupaya mengejar pertumbuhan
dan meningkatkan pembangunan.
2.3 Epilog
paradigma yang
relatif masih baru dalam kajian administrasi negara. NPS berakar dari teori
demokrasi kewargaan, model komunitas dan masyarakat sipil, teori organisasi
humanis dan administrasi negara baru serta administrasi negara postmodern. NPS
memiliki perbedaan karakteristik dengan NPM. NPS berusaha menutupi
kekurangan-kekurangan pada paradigma NPM dengan menawarkan sejumah opsi. Inti
dari paradigma NPS adalah mereposisi peran negara dan pemerintah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Nalar politik sangat kental dalam
mencari akar NPS. Namun NPS sendiri alpa dalam mengkaji landasan
filosofis-ideologis NPM sehingga NPM berbeda dengan NPS.
3.
Governance
Governance adalah tata pemerintahan,
penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan
tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu
sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi
pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang
dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif
3.1 Good Governance
Good governance adalah tata pemerintahan yang
baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa
(struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Istilah good governance
lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi.
Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap
kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga
legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus
dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu
UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas
Umum Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB).
Good governance (tata pemerintahan yang baik)
sudah lama menjadi mimpi buruk banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman
mereka tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar
dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat
memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka
membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik,
maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi
semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga
Good governance sebagai upaya untuk mencapai
pemerintahan yang baik maka harus memiliki beberapa bidang yang dilakukan agar
tujuan utamanya dapat dicapai, yang meliputi (Efendi, 2005):
a.
Politik,
merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali
menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang
bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan.
Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas dari
penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan
pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti:
1)
UUD NRI
1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan
maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk mendukung terwujudnya good
governance. Konsep good governance itu dilakukan dalam pemilihan presiden
langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga
peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak
asasi manusia.
2)
Perubahan
UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan
keterwakilan rakyat.
3)
Reformasi
agraria dan perburuhan.
4)
Mempercepat
penghapusan peran sosial politik TNI.
5)
Penegakan
supremasi hokum.
b.
Ekonomi, Indonesia
memang sempat terlepas dari krisis global yang bahkan bisa menimpa Amerika
Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih
banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekonomi ekonomi rakyat. Hal ini
dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila
tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh.
Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan
kebijakan untuk segera.
c.
Sosial,
masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang
tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance.
Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan
kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan
pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang
efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia
saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan masyarakat yang berdaya di
hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih
banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan
untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan
dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi
sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance
harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan
tersebut.
d.
Hukum, dalam
menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen
mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good
governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap
kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak akan
dapat berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem
hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good
governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga
penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat
ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Mewujudkan
konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan
sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan
sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk
mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas,
partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan.
Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan
efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk
penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap
jenjang proses pengambilan keputusan
Konsep
good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur
hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik.
Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”.
BAB
III
A. Penutup
1. Kesimpulan
Konsep NPM muncul tahun
1980-an dan digunakan untuk melukiskan reformasi sektor publik di Inggris dan
Selandia Baru. NPM menekankan pada control atas output kebijakan pemerintah,
desentralisasi otoritas manajemen, pengenalan pada pasar dan kuasi-mekanisme
pasar, serta layanan yang berorientasi customer (warganegara)
NPS adalah cara pandang baru dalam
administrasi negara yang mencoba menutupi (cover)
kelemahan-kelemahan paradigma NPM.
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang
sedang berjuang dan mendambakan clean and good governance. Untuk mencapai good
governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good
governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting pemerintahan.
Sehingga apa yang didambakan Indonesia menjadi negara yang Clean and good
governance dapat terwujud dan hilangnya faktor-faktor Kepentingan
politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan
kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat
pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Masyarakat dan pemerintah
yang masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah tersebut seharusnya
menjalin harmonisasi dan kerjasama mengatasi masalah-masalah yang ada.
Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik tercermin dalam berbagai bidang yang memiliki peran yang peting dalam gerak roda pemerintahan di Indonesia yang meliputi: bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum.
Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik tercermin dalam berbagai bidang yang memiliki peran yang peting dalam gerak roda pemerintahan di Indonesia yang meliputi: bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
§
Hiromi
Yamamoto, New Publik Management: Japan’s Practice, (Japan: Institute for
International Policy Studies, 2003)
§
Samodra
Wibawa, New Publik Management sebagai Model Administrasi Kabupaten,
(Yogyakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2002)
§ Denhardt,
Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2003. The
New Public Service: Serving, not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.
§ Denhardt, Robert B. dan Janet V.
Denhardt. 2000. “The New Public Service: Service Rather than Steering”. Public Administration Review 60 (6).
§ Denhardt, Robert B. dan Janet V.
Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to Reform”. International Review of Public
Administration 8 (1).
§ Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs
(Sixth Edition). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.
§ Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama). Yogyakarta: Gava Media.
§ Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003.
Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi): Sepuluh Prinsip
untuk Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.
§ Dwiyanto, Agus.
Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajahmada
Universiti Press.
§ Effendi, Sofian. 2005. Membangun Budaya
Birokrasi Untuk Good Governance. Makalah Seminar Lokakarya Nasional Reformasi
Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September 2005.
§ Hardjasoemantri,
Koesnadi. 2003. Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia.
Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15
Juli 2003.
§ Mardoto. 2009.
Mengkritisi Clean And Good Governance Di Indonesia.
No comments:
Post a Comment